Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Monday, September 03, 2007

Pulang Membawa Kekasih

Lembah Hunain kembali menjadi saksi bahwa jumlah yang besar seringkali tak lebih dari sekawanan keledai yang kurang gizi. Pagi itu, pasukan gabungan dari Bani Tsaqif, Hawazin, Jusyam, Bakar, dan Hilal semburat lari seperti debu tertiup badai padang pasir siang hari. Sorak-sorai kesombongan 20 ribu anggota pasukan mereka lenyap dalam beberapa jam setelah berhasil dibungkam oleh pasukan muslimin yang hanya 12 ribu orang.

Kini dunia yang menyilaukan tampak di depan mata kaum muslimin: ghanimah yang besar, serupa manna dan salwa yang diturunkan dari langit untuk Bani Israil. Tak kurang 24 ribu ekor unta, 40 ribu ekor kambing, 4 ribu uqiyah perak berhasil dirampas. Juga tawanan 6 ribu personel, laki-laki dan perempuan. Mereka kemudian dikumpulkan di lembah Ji’ranah.

Inilah yang kemudian dilakukan Nabi. Beliau memberi bagian Abu Sufyan bin Harb, dedengkot Quraisy itu, 100 ekor unta dan 40 uqiyah perak. Kedua anaknya, Yazid dan Mu’awiyah diberikan bagian yang sama dengan ayahnya. Nabi juga memberikan 100 ekor unta kepada beberapa orang Quraisy termasuk Hakim bin Hizam, Nushair bin Harits, Harits bin Hizam, dan Shafwan bin Umayyah. Sebagian lainnya diberi bagian kurang dari 100 ekor unta. Di luar itu, setiap anggota pasukan berjalan kaki mendapat 4 ekor unta dan 40 ekor kambing dan anggota pasukan berkuda mendapat 12 ekor unta dan 120 ekor kambing. Terlihatlah bahwa orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam setelah fathul Ma’kah mendapatkan bagian yang lebih banyak, bahkan istimewa, dibanding mereka yang telah lama masuk Islam

“Ya Muhammad!” kata seorang dekil yang tiba-tiba datang kepada Nabi. “Takutlah olehmu kepada Allah! Aku telah melihat apa yang telah engkau perbuat hari ini!”

Nabi bertanya, “Baik! Bagaimana yang kamu lihat, wahai Kisanak?”Orang itu menjawab, “Aku tidak melihat keadilan engkau!”

Wajah lelaki agung itu memerah. Beliau bersabda, “Apabila keadilan tidak ada padaku, lantas pada siapa adanya?”

“Ya Rasulullah!” Umar bin Khattab yang melihat peristiwa itu seketika menyela. “Tidakkah aku lebih baik membunuh orang ini?”

*****

Rupanya ada yang tertinggal dalam pembagian ghanimah itu. Kaum Anshar. Tak seorang pun mendapatkan bagian istimewa sebagaimana orang Quraisy yang baru masuk Islam. Bisik-bisik muncul diantara mereka. Agak sinis, bahkan, dan menjalar seperti api dalam setumpukan jerami yang kering. “Sekarang, Rasulullah telah berjumpa dengan kaumnya.”

Sa’ad bin Ubadah tak kuat mendengar ungkapan perasaan kurang baik terhadap Nabi itu. Maka ia pun menyampaikannya kepada Nabi SAW. “Engkau telah membagikan kepada kaum engkau sendiri dan kabilah Arab lainnya dengan pembagian yang banyak. Sedangkan golongan Anshar tidak mendapatkan bagian sedikitpun.”

Wajah Nabi kembali memerah. “Kumpulkanlah kaummu kepadaku, wahai Sa’ad, di tempat perkemahan ini!”

Sa’ad lalu segera mengumpulkan orang-orang Anshar di tempat itu.

“Barangsiapa ada di sini selain Anshar, hendaklah ia kembali ke tempatnya!” kata Nabi membuka percakapan. Sejenak kemudian beliau bertanya, “Wahai kaum Anshar! Apakah desas-desus yang telah sampai kepadaku adalah perasaan yang kalian rasakan terhadapku?”

“Ya Rasulullah,” jawab seorang diantara mereka. “Para ketua kami tidaklah mengatakan apa-apa. Orang-orang muda kamilah yang telah berkata ‘Mudah-mudahan Allah memberi ampunan kepada Rasul-Nya, karena telah memberi bagian kepada kaum Quraisy dan tidak kepada kami. Padahal, pedang-pedang kamilah yang meneteskan darah-darah mereka.’”

Rasulullah lalu bersabda, “Wahai orang-orang Anshar! Bukankah ketika aku datang, kalian masih dalam kesesatan, kemudian Allah memberikan hidayah kepada kalian karena aku? Bukankah ketika itu kalian masih menderita, kemudian Allah mencukupi kalian karena aku? Bukankah kalian ketika itu masih saling bermusuhan, kemudian Allah mempersatukan hati kalian karena aku?”

Wajah-wajah itu pun menunduk. Tatapan mereka jatuh ke tanah. Kemudian seorang menjawab, “Benar, ya Rasulullah! Allah dan Rasul-Nya amat murah dan mengaruniai. Karena itu, kami telah dengan rela dan tulus kepada Allah sebagai rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi. Berbuatlah apa yang menjadi kehendak engkau, ya Rasulullah, karena engkaulah dalam kehalalan!”

*****

Sikap reaktif adalah sikap seseorang yang gagal membuat pilihan respon pada saat mendapatkan rangsangan (stimulus). Jika Anda selalu marah kalau dicemooh, maka Anda termasuk reaktif, karena selalu memberikan respon yang sama terhadap suatu rangsangan. Binatang secara umum adalah makhluk yang reaktif. Kalau dipukul, reaksinya hanya dua: takut atau marah. Coba saja Anda pukul seekor anjing yang melintas. Kalau ia tidak lari, maka Andalah yang akan lari.

Berbeda dengan reaktif, menurut Covey, proaktif adalah kemampuan seseorang untuk memilih respon. Sikap proaktif adalah sikap seseorang yang mampu membuat pilihan dikala mendapatkan rangsangan. Seseorang yang bersikap proaktif mampu memberi jeda antara datangnya rangsangan dengan keputusan untuk memberi respon. Pada saat jeda tersebut seseorang yang proaktif dapat membuat pilihan dan mengambil respon yang dipandang terbaik bagi dirinya.

Bila dibandingkan dengan binatang yang senantiasa reaktif, manusia bisa bersikap proaktif. Saat dipukul, manusia reaksinya bisa lebih beragam. Ia memang bisa marah. Tetapi, boleh jadi ia akan diam atau justru tersenyum (jika dipukul mesra pasangan misalnya). Manusia punya kendali untuk memilih respon terhadap rangsangan tertentu.

Sikap proaktif sangat berguna bagi manusia terutama dalam menghadapi masalah maupun dalam berinteraksi dengan manusia lain. Sikap proaktif menunjukkan tingkat kecerdasan emosi (EQ) yang tinggi. Permasalahannya adalah tidak banyak orang bisa memilih respon terbaik terhadap sebuah masalah. Apalagi jika itu berhubungan dengan dunia dan keduniaan. Bagaimanapun cinta dunia adalah penyakit yang diderita hampir setiap orang.

Ketika orang Quraisy, apalagi yang baru masuk Islam, mendapatkan bagian ghanimah Hunain yang lebih besar dari mereka, kaum Anshar langsung bereaksi. Mereka merasa lebih berhak mendapatkan bagian yang lebih besar ketimbang para muallaf itu — apalagi beberapa diantaranya sangat memusuhi Islam di masa awal seperti Abu Sufyan bin Harb. Namun, bagaimanapun, ini adalah reaksi yang wajar.

Rasulullah tak membiarkan sikap reaktif yang salah ini terus berlangsung. Dan rupanya, orang-orang Anshar yang dididik langsung di bawah tarbiyah Rasulullah SAW telah memilih pilihan yang lebih baik ketimbang ghanimah. Mereka telah memilih sikap proaktif jauh sebelum Covey 14 abad kemudian menulis bukunya.

*****

Wajah-wajah di perkemahan itu masih tertunduk dalam diam. Lembah Ji’ranah serupa sedang diguyur musim dingin yang beku.

“Sesungguhnya, aku memberi bagian kepada beberapa orang yang baru saja memeluk Islam karena aku sengaja menjinakkan mereka di dalam Islam,” kata laki-laki agung itu memecah kesunyian. Kata-katanya kini bergetar penuh luapan kasih. “Apakah kalian tidak puas melihat orang lain pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Demi Zat yang diri Muhammad ada di tangan-Nya. Sekiranya bukan karena hijrah, tentu aku adalah salah seorang dari kaum Anshar. Sekiranya orang lain berjalan di suatu lembah dan lereng gunung, sedangkan kaum Anshar berjalan di lembah dan lereng gunung yang lain, niscaya aku menempuh jalan di lembah dan lereng gunung yang ditempuh kaum Anshar. Kalian itu bagaikan baju dalam, dan orang-orang yang lain itu bagaikan baju luar.”

Nabi kemudian mengangkat tangan mengucap do’a, “Ya Allah! Limpahkanlah rahmat-Mu kepada kaum Anshar, kepada anak-anak kaum Anshar, dan kepada cucu-cucu kaum Anshar!” Seketika itu pula, mata yang telah basah kini tak terbendung lagi. Air mata berhamburan membasahi pipi, berlelehan hingga janggut-janggut mereka. Mereka lalu berseru haru, “Kami telah rela mendapatkan Rasulullah sebagai bagian kami!" (NapakTilas)


Posted by Azhar Muhammad N.T :: 12:02 AM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------