Kabut pasir, hujan batu kerikil, juga caci-maki. Anak-anak, hamba sahaya, juga tetangga keluarga Amr bin Umair bin Auf ats-Tsaqafi berhamburan keluar rumah. Berbaris, berjajar di sepanjang jalan dari rumah penguasa kota Thaif itu. Batu kerikil di tangan. Pasir berguguran dalam genggaman. Mulut-mulut berteriak penuh cacian. Mereka seperti berlomba melempar.
Dua orang lelaki tak berdaya tertatih di bawah hujan batu, kerikil, dan pasir serupa terseret di dalam badai gurun sahara yang terik. Mereka mengarahkan batu-batu itu ke kaki Nabi SAW. Kedua kakinya luka menganga, berdarah-darah. Manusia yang mulia itu bahkan sampai harus berjalan merangkak-rangkak menahan sakit. Zaid bin Haritsah yang menyertainya pun tak luput dari sasaran. Kepalanya luka parah berkucur darah terkena lemparan batu. Sementara kerikil, batu, dan pasir tak henti beterbangan dari tangan-tangan keluarga Bani Tsaqif itu.
Caci-maki dan ejekan terus berlangsung hingga kedua lelaki itu sampai di sebuah kebun di luar kota. Mereka pun bubar. Nabi SAW dan Zaid lalu berteduh di tempat itu. Menunggu luka terhenti dan mengering, barang sesaat. Demi mengetahui kalau kebun itu milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah yang juga memusuhi beliau di Mekah, Rasul pun mengadu.
“Ya Allah, kepada Engkaulah aku mengadukan kelemahan kekuatanku dan sedikitnya daya upayaku dan kehinaan bagi manusia. Ya Tuhan Yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang berkasih sayang”
***
Abu Thalib baru saja wafat. Hanya berselang hari, Khadijah yang amat dicintainya pun pergi untuk selamanya dari sisinya. Lelaki itu telah kehilangan dua orang yang amat dikasihinya dalam waktu yang hampir bersamaan, serupa kehilangan kaki untuk melangkah sekaligus punggung buat bersandar. Ia memang seorang Nabi. Tetapi ia pun seorang manusia biasa. Kehilangan dua orang yang amat dikasihinya dan selama ini menjadi tulang-punggung dakwahnya tentu merupakan pukulan yang berat. Tidak ada dukacita yang lebih besar beliau rasakan sejak bertemu Jibril di Gua Hira kecuali saat itu.
Tekanan Quraisy pun menjadi. Cercaan, hinaan, dan perlakuan menyakitkan dari mereka siang malam terus diterimanya tanpa henti. Nabi lalu pergi secara diam-diam ke Bani Tsaqif di Thaif untuk mengobati dukanya ini. Semula beliau membawa harapan yang besar, mengingat pemuka mereka masih keluarga dekatnya. Tetapi apa yang kemudian dialaminya bersama Zaid sungguh jauh panggang dari api. Alih-alih mengharap pelita segera terpetik di daerah sebelah tenggara Mekah yang subur itu, justru yang beliau terima adalah hujan batu dan sumpah-serapah.
***
Ketika keduanya selesai beristirahat di kebun itu dan kemudian meneruskan perjalanan kembali ke Mekah, datanglah malaikat Jibril diiringi malaikat penjaga gunung.
“Ya Rasulullah” kata Jibril. “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu dan penolakan mereka kepadamu. Dia telah mengutus malaikat penjaga gunung supaya engkau perintahkan kepadanya apa yang engkau kehendaki atas kaum Bani Tsaqif itu.”
“Ya Rasulullah” sahut malaikat penjaga gunung. “Jika engkau mau supaya aku melipatkan kedua gunung yang besar ini di atas mereka, niscaya akan aku lakukan.”
Gunung Abu Qubais dan Qa’aiqa’an tampak kokoh berhadapan di kejauhan bak dua raksasa yang berdiri diantara Mekah dan Thaif. Melemparkan keduanya ke atas perkampungan Bani Tsaqif akan serupa hujan batu atas kaum Sadum ketika mendustakan Nabi Luth as.
“Tidak Jibril!” jawab Nabi tegas. “Bahkan aku berharap mudah-mudahan Allah memberikan kepada mereka keturunan yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
***
Serupa apakah cinta sejati itu? Mungkin cinta jika cuma terkatakan hanyalah berarti setengah cinta atau cinta setengah. Kalau tidak malah jadi cinta setengah-setengah. Sebagian besar cinta boleh jadi justru mengejawantah pada selain indahnya kata. Pada senyum yang tulus, mata yang teduh, tangan yang terulur, bahu yang memikul, kaki yang bergerak ringan, hingga dekap erat-hangat.
Cinta juga terlihat pada kesediaan berbagi, menjalani, dan berkorban apa saja demi sesuatu atau seseorang yang dicinta. Dan barangkali cinta mencapai puncaknya ketika seseorang mau bertaruh nyawa untuk sang kekasih, berkorban hingga tetes darah terakhir demi yang dicinta.
Bagaimana halnya jika seseorang merelakan dirinya terluka oleh yang dicinta dan tak pernah mau memendam dendam untuk suatu saat menuntut balas jika berkesempatan? Boleh jadi inilah cinta sejati. Itulah cinta yang nyaris tak bertepi.
Rasulullah SAW adalah sosok pribadi dengan cinta yang nyaris tak bertepi itu. Batu kerikil yang beterbangan menyayat luka di kulit, darah yang mengalir diiringi sakit, juga cacian, hinaan, ejekan, dan sumpah-serapah yang diterimanya pada peristiwa di Thaif rasanya sudah lebih dari cukup untuk tidak pernah dimaafkan. Kalau perlu dituntut balas dengan sepadan perih.
Ia memang manusia biasa. Tetapi bagaimanapun, ia bukanlah manusia biasa seperti kita. Kecintaan pada yang dicintanya sungguh tiada berbatas. Dan yang amat dicintanya itu tidak lain adalah kaum kepada siapa beliau diutus, termasuk kita. Cinta itu ditunjukkannya nyaris pada sepanjang hayat. Bahkan ketika saat-saat terakhir menjelang beliau pergi, bagian dari yang disebut bibirnya yang mulia adalah ummati, ummati. Umatku, umatku. Sungguh cinta kepada umatnya dibawanya hingga tarikan nafas terakhir.
Begitu pulalah yang terjadi di jalan antara Thaif dan Mekah itu. Ketika kedua malaikat menawarkan diri melempar kaum Tsaqif dengan dua gunung sebagai bentuk balasan atas penghinaan itu, Rasulullah hanya menggeleng. Meski kaumnya memusuhinya begitu rupa, cintanya kepada mereka sudah terlanjur tak bertepi.
***
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan supaya aku menuruti keinginanmu terhadap kaummu Ya Rasulullah, karena perbuatan mereka kepadamu.” sambung Jibril demi mendengar jawaban Nabi, “
Lemparan batu, kerikil dan pasir masih membekas di tubuhnya yang mulia. Peristiwa penghinaan itu masih sangat segar di ingatan. Bahkan luka di kedua kaki beliau belum juga mengering. Tetapi beliau justru memanjat doa.
“Ya Allah, tunjukkanlah (jalan yang lurus) kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengerti.”
Jibril dan malaikat penjaga gunung kemudian sama-sama berkata, “Maha benar Tuhan yang telah menamakan dirimu pengasih serta penyayang” (NapakTilas)
Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku.
Jika cinta memelukmu, maka dekaplah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu (Kahlil Gibran)
Tidak ingin mengecewakan nenek, akhirnya saya menuruti kemauan beliau agar kami berdua turun di Palur saja, bukan di terminal Tirtonadi seperti yang direncanakan semula. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari, untunglah waktu itu ada angkutan umum yang tengah berhenti menunggu penumpang, sebuah mobil pick-up dengan atap yang menaungi bak terbuka di bagian belakang, kursinya berhadap-hadapan. Nenek duduk di depan di samping supir, saya di belakang sambil menunggui barang bawaan kami. Dan kami pun melanjutkan perjalanan ke Karangpandan, salah satu kecamatan di wilayah kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.
Mobil itu awalnya memang kosong, namun di tengah jalan penumpangnya perlahan-lahan bertambah, dan pemandangan itu pun muncul di hadapan saya. Pemandangan yang sebenarnya bukan sekali itu saya temui. Dulu ketika pulang ke Bondowoso di pagi buta, saya naik bis umum dari Jember, dan saya pun mendapati pemandangan seperti ini. Sekawanan ibu-ibu yang berangkat ke pasar dengan seabreg barang dagangannya. Diantaranya bahkan ada yang sudah nenek-nenek.
Mereka ini memang perempuan, namun itu tidak menghalangi niat mereka untuk berjuang menghidupi diri dan keluarganya. Bahkan jika dipikir-pikir, perjuangan mereka mungkin bisa dibilang lebih keras dari apa yang bisa saya kerjakan sejauh ini. Belum tentu saya mampu mempersiapkan diri saya pagi-pagi seperti mereka. Habis sholat shubuh malah kadang-kadang saya tidur lagi. Dalam masalah menikmati waktu berjuang seperti ini, saya pun harus belajar banyak dari perempuan-perempuan ini.
**********
Makanan untuk sarapan disiapkan dini hari, makanan untuk makan siang disiapkan pagi-pagi, dan waktu siang dipakai untuk mempersiapkan makan malam. Seperti inilah yang saya lihat dari ibu-ibu dan mbak-mbak yang bekerja di bagian dapur pondok ini. Di balik sifat lembut yang sudah menjadi karakter khasnya, mereka juga rela berpeluh-peluh dan terkuras tenaganya untuk melayani ribuan orang (tidak hanya santri, mantan santri kaya saya juga) di lingkungan pondok ini. Di antara mereka malah ada yang bekerja di situ sejak saya masih belajar di sini. Seperti halnya ibu-ibu pedagang di atas, perempuan-perempuan ini juga luar biasa. Kalo saya sih belum tentu bisa setelaten mereka.
*********
Ada yang bilang, jilbaber itu makhluk manis yang paling-paling tidak akan mau mengerjakan pekerjaan yang agak kasar sedikit seperti yang biasanya dilakukan gadi-gadis non-jilbaber. Tapi ternyata di daerah pinggiran sana, ada yang beberapa jilbaber yang tiap pagi menjajakan tempe dengan mancal sepeda. Ada juga yang berjualan susu, tahu, sayur, dan sebagainya dengan memakai sepeda. Malah di tempat lain ada yang dengan jilbab panjangnya terjun ke sawah untuk membantu mengolah sawah, tidak hanya di musim panen yang memang medannya agak ringan, tetapi juga di musim tanam ketika sawah yang kering berubah menjadi kubangan air. Kaos kaki tetap mereka pakai walaupun dibungkus plastik kresek.
Ada lagi yang setia dengan pekerjaannya, membantu orang tuanya mengangkat genteng-genteng yang sudah selesai dibakar sampai memerah, mengaduk-aduk isi tungku pembakaran sambil sesekali terbatuk-batuk kecil; memakai jilbab yang sudah mulai pudar warnanya. Sementara ayahnya –pak penjual genteng- yang sudah mulai tua terduduk dengan peluh bercucuran, kelelahan. Demi kuliah anaknya juga.
**********
Perempuan-perempuan ini, semoga rahmat-Nya tercurahkan ke atas mereka, semoga hidayah-Nya menaungi mereka, semoga taufiq-Nya senantiasa menghiasi hidup mereka, semoga ridlo-Nya menyertai pekerjaan mereka.
Tanpa makan dan minum, orang mungkin masih bisa bertahan beberapa hari. Tanpa bernafas, orang mungkin masih bisa bertahan beberapa menit. Tapi jika sudah tanpa harapan, orang mungkin hanya bisa bertahan sepersekian detik saja.
Bagi saya, demikian juga halnya dengan kepercayaan. Dengan kepercayaan, orang bisa berbuat, melakukan dan menghasilkan sesuatu. Tapi jika sudah tidak memiliki kepercayaan, entah apa yang bisa diperbuatnya. Kepercayaan, sesuatu yang katanya perlu waktu untuk mendapatkannya. Banyak yang bilang, perlu waktu bertahun-tahun untuk melahirkan kepercayaan, namun hanya butuh sedetik saja untuk menghancurkannya.
Begitu mahalnya harga sebuah kepercayaan, sehingga saya sendiri merasa tidak yakin bisa mendapatkannya kembali dari salah satu teman saya. Sebelum kejadian hari itu semuanya berjalan dengan baik, sangat baik malah. Hampir tiap hari dia menghujani saya dengan cerita, canda, dan keluh-kesahnya, begitu juga sebaliknya. Paling tidak hal itu bisa ikut mewarnai kehidupan saya di lingkungan saya yang baru (tapi lama) ini.
Tapi apa yang terjadi hari itu, sejauh ini sepertinya telah mengubah semuanya. Dan saya pun harus menanggung akibatnya. Sepertinya ada yang kurang hari ini. Yah, tidak ada lagi cerita, canda, dan keluh-kesahnya.
Kepercayaan itu bukan dibangun tapi dilahirkan, dan saya belum tahu kapan teman saya ini bisa melahirkan kembali kepercayaannya pada saya, yang akan membuatnya tidak segan lagi untuk saling berbagi dengan saya.
10 Agustus 2007. Satu buah tas jinjing lumayan besar, satu kardus buku-buku, dan satu buah tas punggung penuh berisi. Kalo biasanya aku pergi ke Jember sendirian, melihat bawaanku yang sebanyak itu akhirnya aku mengajak Rosi, adikku untuk ikut sekalian mbantuin mbawain barangku. Jadilah hari itu tepatnya ba’da Maghrib aku pergi ke Jember bersama Rosi. Sampai di terminal Tawangalun Jember ternyata bis Akas Asri jurusan Banyuwangi- Jember- Solo- Yogya itu sudah ada, akupun langsung naik, cari kursi dan meletakkan barang bawaan, lalu Rosi kusuruh nunggu sebentar di dalam bis sementara aku turun lagi, pingin ke toilet. Keluar dari toilet ternyata bisnya sudah jalan, untung tadi aku ngajak Rosi ikut, paling tidak dia bisa ngingetin supirnya kalo masnya masih di luar bis, dan ternyata bisnya memang nungguin aku. Waktu itu jam setengah delapan malam lebih dan bispun meninggalkan terminal, sementara Rosi pulang lagi ke Bondowoso.
11 Agustus 2007. Adzan Shubuh masih beberapa saat lagi ketika aku memasuki kompleks pondok Assalaam ini, Mahyani yang menjemput aku di pos satpam dengan sukarela ikut membawakan barangku. Pagi itu sebenarnya ada acara jalan keluarga bagi para pegawai pondok, tapi aku memilih untuk tidur, capeknya belum benar-benar hilang.
12 Agustus 2007. Jejak langkahku akhirnya memasuki medan yang baru, hari ini adalah hari pertama aku mengajar, jadwalnya di kelas 3 G MTs. Jejak langkahku akhirnya memasuki medan yang baru, hari ini aku memperkenalkan diriku seperti halnya ustadz-ustadzahku terdahulu saat pertama masuk ke kelasku. Jejak langkahku akhirnya memasuki medan yang baru, hari ini aku menuliskan materi di papan tulis seperti halnya ustadz-ustadzahku terdahulu. Jejak langkahku akhirnya memasuki medan yang baru, hari ini aku membangunkan beberapa santri yang tertidur ketika pelajaran seperti halnya ustadz-ustadzahku terdahulu.
Jejak langkah ini akhirnya memasuki medan yang baru. Yah, yang namanya perjalanan hidup memang harus dan selalu melalui tahapan-tahapan, siapapun orangnya, tidak terkecuali aku juga. Lahir, bermain-main, masuk taman kanak-kanak, berganti seragam putih-merah, pindah sekolah (SD 3 tahun di Bondowoso, sisanya di Banjarnegara). Masuk pondok Assalaam, di sini banyak hal yang mewarnai perjalananku, merasakan pisah dengan orang tua, berkenalan dengan teman-teman dari macam-macam belahan Indonesia, sempat juga diwarnai dengan nangis ketika dijenguk (pas 1 MTs), latihan bersabar dengan antri, merasakan sakitnya dipukul saat masuk sidang Bagian Bahasa, menangis lagi waktu perpisahan kelas 3 MTs. Berganti seragam putih abu-abu, jadi pengurus Bagian Bahasa, merasakan bagaimana hati ini tersayat-sayat gara-gara urusan cinta (di sini pertama kalinya aku ngerasain yang namanya jatuh cinta), merasa bangga saat menerima penghargaan waktu wisuda, apalagi keluargaku hadir. 6 tahun yang awalnya terlihat panjang, tapi ternyata terasa singkat ketika dilalui.
Kuliahnya ke luar negri rek..!! Mesir, negri ini yang kemudian menjadi pemberhentian sementaraku selanjutnya. Di sini juga banyak hal yang mewarnai lembaran perjalananku, dengan segala suka dan dukanya. Menjadi bagian dari keluarga IKMAS Mesir bagiku merupakan satu kenangan terindah seumur hidupku di negri ini, mempunyai teman-teman layaknya saudara, kakak-kakak yang baik-baik, dan juga adik-adik yang baik-baik. Selain itu, berkenalan dengan kondisi alam yang baru, berinteraksi dengan orang mesir, melihat bentuk rumah yang ‘lain dari biasanya’, makanan yang belum pernah ngerasain sebelumnya, musim dingin, musim panas. Sempat merasakan aktif di PPMI, PCI Muhammadiyah, dan tentu tak ketinggalan KSW (khusus yang satu ini, sejak masih berstatus anak baru sampai tingkat akhir), memahami bahwa sukses tidak selalu ditentukan tinggi rendahnya tingkat intelejensia, siapa yang mau berusaha dialah yang akan berhasil. Juga merasakan sedihnya ditinggal pergi selama-lamanya oleh orang-orang tercinta, Ayah, Nenek, Kakek, Paman-Bibi, tak ketinggalan seorang adik kelasku juga. 5 tahun yang awalnya terlihat panjang, dan ternyata memang benar-benar panjang (???). Senang juga akhirnya purna sudah perjuanganku di negri ini (aku tidak berniat ngambil S2 di Mesir), tapi juga sedih harus meninggalkan saudara-saudari dan sahabat-sahabat terbaikku di Mesir.
Jejak langkah ini akhirnya memasuki medan yang baru. Yah, setelah lepas dari sebuah tahapan, hidupku sekarang menapaki tahapan yang baru. Sebuah tahapan yang memang berbeda bentuk dengan sebelum-sebelumnya, tapi tetap memerlukan kemauan untuk belajar, kecermatan membagi waktu, kepintaran menjaga semangat dan motivasi, dan ketekunan untuk terus berdoa kepada-Nya mudah-mudahan dianugerahi segala macam kebaikan dan yang dikerjakan sekarang mendapat ridlo-Nya, serta memperoleh kemudahan/kelapangan dalam melangkah ke tahapan-tahapan selanjutnya.