Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Friday, October 03, 2008

Berani Mengaku

Syahdan, ketika Abu Sufyan masuk Islam, dia masih takut-takut bila keislamannya itu diketahui orang. Sehingga pada saat futuh makkah (pembebasan kota Mekkah) Nabi mengatakan bahwa yang berlindung di rumah Abu Sufyan akan selamat, dengan heran istrinya, Hindun, tidak tahu bahwa Abu Sufyan ternyata sudah Islam.

Ketika Amr bin Yasr hendak disiksa oleh majikannya, sang majikan menyuruh Bilal untuk memecut Amr. Tapi Bilal tidak mau dan membuang pecut itu. Barulah pada saat itu baik sang majikan maupun Amr, tahu bahwa ternyata Bilal sudah masuk Islam. Alih-alih mau menyiksa Amr, malahan sang majikan, Umayyah, ganti menyiksa Bilal dengan kejam. Bilal ditelanjangi dan ditelentangkan di padang pasir dengan ditindihi batu. Dengan begitu sang majikan berharap Bilal mau kembali kafir dan musyrik.

Didera siksaan yang sedemikian berat, dan juga berulang kali sang majikan membujuk untuk kafir kembali, Bilal tetap teguh dengan pendirian. "Ahad.. ahad..", itu yang selalu diucapkannya. Hatinya tetap dengan Allah, Tuhan Yang Satu, bukan tuhan-tuhan lain yang ada saat itu sampai 360 nama. Sementara yang diagung-agungkan ada 3 tuhan utama.

* * *
Saat Hamzah masuk Islam, malah unik. Adalah bukan niatnya di awal, untuk mengatakan bahwa dia telah masuk Islam. Sewaktu Hamzah melihat keponakannya, Muhammad SAW, sedang dipermalukan, dikepung, ditimpuki dan bahkan mau dibunuh di depan Ka'bah, Hamzah yang baru pulang dari berburu tiba-tiba muncul.

Orang-orang pada saat itu berharap banyak pada Hamzah, agar Hamzah mau menasehati atau bahkan ikut memukuli Muhammad SAW, supaya Muhammad SAW jera berdakwah. Abu Jahal (saat itu masih bernama Abul-Hakam) maju ke depan menyongsong Hamzah, mengadu tentang kelakuan Muhammad SAW, seraya hendak memukul Muhammad SAW dengan busur. Oleh Hamzah dicegah tangan itu dan malah dipukulkan balik ke Abul-Hakam. Hamzah memakinya dengan sebutan "Jahal", sehingga jadilah sejak saat itu namanya berubah dari Abul-Hakam (bapak bijak) menjadi Abu Jahal (bapak bodoh).

Hamzah lalu berteriak mengusir orang-orang yang berkerumun. Dia sesumbar bahwa dirinya sudah masuk Islam. Dan dia berkata bahwa barang siapa yang berani menyentuh keponakannya itu, maka akan dipenggal kepalanya.

Seorang Hamzah gituloh. Jagoan, preman, tidak ada yang berani melawan dia. Selain takut, mereka juga segan. Dan Hamzah konsekuen dengan keputusan mendadak itu, mengaku Islam. Sampai akhir hayatnya, Hamzah terus berjuang di garis depan membela kejayaan Islam.

* * *
Umar bin Khattab adalah satu dari dua orang yang sangat diharapkan Nabi SAW untuk masuk Islam. Mengapa? Karena kedua orang itu sama-sama 'preman'. Diharapkan dengan adanya salah satu dari mereka, akan memperkuat barisan umat yang saat itu kebanyakan orang-orang lemah. Dan Allah melunakkan hati Umar lewat peristiwa telah Islamnya adik kesayangannya. Umar juga sesumbar bahwa barang siapa yang berani protes kalau dia sudah Islam, maka akan dihajarnya habis-habisan. Atau, urusan nyawa bisa melayang.

Jadi..
Berani berbuat, berarti berani bertanggung jawab. Berani melangkah, berarti siap menanggung resikonya. Berani mengambil keputusan, berarti berani menanggung konsekuensi dari keputusan itu. Apapun itu, baik buruknya, maka keputusan itu pasti berakibat pada diri kita sebagai pelaksana.

Tidak mudah memang mengambil sebuah keputusan, apalagi bila keputusan itu bisa-bisa membuat nyawa melayang. Mending kalau kita saat mengambil keputusan itu dalam posisi yang kuat. Kalau posisinya lemah? Apa tidak malah jadi bulan-bulanan?

Bilal hanya seorang budak, sehingga majikannya bisa seenaknya mempermainkan dia. Tapi tidak dengan Hamzah atau Umar. Mereka punya kuasa untuk melawan. Seorang yang telah menjadi tokoh yang disegani, tiba-tiba berpindah agama, mendapat hidayah dan masuk Islam. Sebuah keputusan yang berisiko terjadinya pembunuhan karakter. Tapi bagi seorang Umar atau Hamzah, yang memang telah terkenal 'jagoan' dan telah mempunyai 'penggemar' sendiri, mereka tidak takut pamor akan turun. Mereka tidak takut bahwa citra mereka menjadi jelek, saat mengambil keputusan untuk berpindah.

Dan terbukti, ketika mereka masuk Islam, ketenaran dan kejayaan malah makin meningkat. Orang-orang yang tadinya tunduk pada mereka saat mereka masih belum Islam, akhirnya mengikuti jejak 'idolanya' dan masuk Islam pula.

Seharusnya, bisa kita contoh perilaku mereka itu. Jangan takut mengaku Islam. Jangan takut jikalau kita tampil dengan baju Islam. Allah tidak malah menyempitkan rizqiNya, hanya karena kita tampil sebagai pembela agamaNya.
Kan aneh, agama yang diridhoi oleh Allah itu Islam, tapi kita malah takut berwajah Islam, ya toh? (H. N. Dewantara – www.warnaislam.com)

Posted by Azhar Muhammad N.T :: 4:16 PM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------
Baju Barumu Berapa?

"Baju barumu berapa?" Pertanyaan yang lazim kita dengar di hari-hari menjelang lebaran, atau hari-hari terakhir bulan ramadhan. Lebaran identik dengan baju baru, dan hal-hal baru lainnya secara fisik.

Lebaran atau hari raya Idul Fitri kerap dimaknai terlahirnya diri orang-orang yang berpuasa selama sebulan penuh bagai sosok bayi yang masih suci dan bersih. Maka layaknya bayi yang baru lahir, segala pakaian yang melekat pun serba baru, mulai dari baju hingga sepatu. Serba baru ini seolah melambangkan hati yang bersih tanpa noda, tubuh yang bersih tanpa dosa setelah sebulan penuh digodok, digembleng dan dibakar. Hangus sudah seluruh dosa terbakar, punah sudah semua keliru dihempas ramadhan. Jadilah ia orang yang baru, benar-benar baru, berbeda dari sebelum ia memasuki bulan ramadhan.

Selayaknya bayi yang baru lahir pun, kita memulai hidup baru, menggores lembaran-lembaran baru dalam kehidupan. Setiap gerak dan langkah akan merwarnai kertas putih kehidupan, entah dengan warna apa kita memulainya. Warna terang benderangkah atau justru kita menorehkan warna kegelapan sehingga membuat pekat kembali kertas putih lembaran kehidupan kita yang baru itu.
Sayang seribu sayang jika demikian adanya. Kita telah berjuang penuh menjalani berbagai ujian selama bulan ramadhan, berharap di satu syawal berdiri sebagai orang-orang yang layak menggenggam predikat kemenangan, justru langkah berikutnya tidak terarah, bahkan cenderung salah.

Atau, jangan-jangan ada ujian yang tidak kita ikuti selama masa ujian bulan ramadhan? Sehingga sejujurnya kita tidak benar-benar terlahir sebagai orang baru di satu syawal? Mungkin ada nilai-nilai buruk dari serangkaian test yang diberikan Allah selama bulan itu? Atau ada soal-soal ujian yang kita benar-benar gagal dan tak mampu mengerjakannya? Dan karena itu, sebenarnya kita tak tergolong orang-orang yang lulus dalam ujian ramadhan?

Ibarat siswa sekolah dasar yang menempuh ujian untuk kelulusan, jika ia mendapat nilai baik sesuai standar kelulusan, maka ia akan dinyatakan lulus dan berhak menyandang predikat baru sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Nah, setelah menyandang status siswa SMP, ia pun berhak berganti pakaian, dari merah putih menjadi biru putih, sebagai bukti keberhasilannya.

Namun jika ia gagal dalam ujian, maka tak ada hak sedikit pun untuk menyandang gelar siswa SMP. Ia sepantasnya bersedih karena tidak lulus dan harus mengulang kelas terakhir hingga waktu ujian tiba kembali. Jika ada siswa SD yang tak lulus ujian, berhakkah ia masuk ke kelas SMP? Bolehkah ia mengenakan seragam biru putih seperti halnya teman-temannya yang lulus?

Kembali ke soal baju baru untuk lebaran, jika memang dianggap sebagai perlambang kemenangan usai menempuh ujian ramadhan, benarkah kita menjadi pemenang? Kalaulah dianggap sebagai perlambang kebahagiaan setelah berhasil melewati beragam test sepanjang ramadhan, coba cek kembali nilai-nilai test kita, sudah bagus semuanya? Kalau belum, kenapa tersenyum?

Kalau anak kecil yang bertanya, “berapa baju barumu” kepada teman sebayanya, itu lain soal. Tapi kalau orang dewasa yang di hari-hari terakhir ramadhan ini sudah sibuk memikirkan baju baru apa yang akan dikenakannya di hari lebaran, ups, nanti dulu, ujian masih berlangsung loh, belum tentu kita dinyatakan lulus. Ya kan?

Siap-siap punya baju baru sih boleh, tapi harus yakin dulu ujian ramadhan ini terselesaikan dengan baik. Sebab belum tentu tahun depan ketemu ramadhan lagi. Sepakat? (Gaw – www.warnaislam.com)

Posted by Azhar Muhammad N.T :: 3:58 PM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------
Berkaca Pada Para Nabi; Malu!

Memang saya tak setampan Nabi Yusuf alaihi salam, yang pesonanya membuat Zulaikha tergila-gila kepadanya dan belasan wanita cantik lainnya rela mengiris tangannya tanpa sadar lantaran tersihir keelokan wajah putra Ya’kub itu. Ketampanan Yusuf bukan semata fisik, melainkan cahaya di hatinya yang memancarkan kemuliaan. Bandingkan dengan diri ini, tak seujung kelingking pun ketampanan saya bisa menyaingi Nabi mulia itu.

Saya pun tak sesabar Nabi Ibrahim alaihi salam, berdakwah hingga usianya lebih seabad namun hanya sedikit pengikutnya. Yang bersabar hingga hari tuanya untuk bisa menimang putra tercinta Ismail. Coba lihat diri ini, sering tergesa-gesa tak sabaran.

Sosok ini pun tak setaat Ismail putra Ibrahim, yang ikhlas menjalankan perintah Allah meskipun harus disembelih oleh ayahnya sendiri. Bahkan Ismail tak bergeming saat setan menggodanya. Hmm, mudah sekali rasanya setan-setan menggoda diri ini. Mungkin karena saya belum benar-benar taat kepada-Nya.

Diri ini jelas-jelas tak setabah Nabi Ayub alaihi salam dalam menjalani cobaan dari Allah. Ayub yang bertahun-tahun diuji Allah dengan penyakit, tak sedikit pun mengeluh. Justru sebaliknya, ia merasa ujian itu adalah cara Allah mendekatinya. Sedangkan saya, baru kena flu saja sudah uring-uringan, bagaimana diberi penyakit yang lebih parah? Bisa-bisa jadi alasan untuk malas beribadah.

Saya juga tak sehebat Nabi Daud alaihi salam, yang meski bertubuh kecil sangat pemberani melawan Raja Jalut. Begitupun Nabi Musa alaihi salam yang tak gentar berhadapan dengan penguasa paling lalim sepanjang masa, Firaun. Ia berani mengungkapkan kebenaran dengan nyawa taruhannya. Duh, jika saya berada pada posisi seperti itu, sanggupkah? Bahkan menegur sahabat yang berbuat salah pun terasa berat lidah ini mencobanya. Ironisnya, saya sering bersembunyi, pura-pura buta setiap kali kemungkaran berlaku di depan mata ini.

Hati ini tak setegar Nabi Nuh alaihi salam yang tetap tersenyum mendapati ejekan dari kaumnya, termasuk isteri dan anaknya sendiri. Bahkan ketika air bah dating, Nuh tetap mengajak kaum yang sebelumnya tak henti mengejeknya sebagai orang gila. Andaikan saya yang diejek, emosi lah yang didahulukan. Kalau perlu saya menantang siapapun penghina itu untuk berkelahi, saling menumpahkan darah. Saya mudah marah, gampang tersulut emosinya, mudah terprovokasi, ah jauhlah dari sifat Nabi Nuh.

Akal pikiran ini tak secerdas Nabi Harun alaihi salam, yang karena kecerdasannya ia diperintah Allah menemani Musa menghadapi Firaun sekaligus menghadapi para pengikutnya. Kejernihan pikirannya, menjadikan ia teramat mudah mendapat hikmah dari Allah. Saya benar-benar iri kepada Nabi Harun yang tak pernah berhenti belajar. Berbeda dengan saya yang terkadang sudah merasa cukup pintar, sering berpikir bahwa diri ini sarat ilmu pengetahuan.

Saya benar-benar tak sebijak Nabi Sulaiman alaihi salam, dalam segala hal. Ia yang mampu mendengar suara semut yang ketakutan akan derap pasukan Sulaiman, bahkan sangat kasih terhadap makhluk yang sangat kecil itu. Karena kebijaksanaannya itulah, ia dicintai oleh segenap makhluk di bumi, dari bangsa manusia hingga jin, dari hewan di darat, udara sampai di dalam lautan. Sulit rasanya saya sekadar mencoba berlaku bijaksana dan adil. Saya masih egois, melihat untung rugi dalam berbuat, mengedepankan siapa yang dekat dengan saya dan siapa yang saya suka, bukan siapa yang benar dan berbuat kebaikan.

Nabi Isa alaihi salam mengajarkan tentang kelembutan hati. Tentang berbagi, membantu sesama, menolong orang tanpa pamrih, meringankan beban kaum dhuafa, menyediakan tangannya untuk orang-orang yang kesusahan, dan mengobati yang sakit. Hatinya selalu menangis melihat orang-orang yang menderita, dirinya selalu berada di sekeliling kaum dhuafa. Sedangkan saya, berkali-kali menyaksikan fenomena kemiskinan, kesusahan, penderitaan di berbagai tempat, tetap saja hati ini sekeras batu,.Tak gampang menangis jika bukan diri ini sendiri yang mengalami kesusahan.

Bagaimana dengan Rasulullah Muhammad Sallallaahu alaihi wassallaam? Sungguh, beliaulah teladan seluruh manusia. Tentang cinta, kasih sayang kepada sesama, urusan rumah tangga, kelembutan sikap, kemuliaan akhlak, tutur kata, persahabatan, persaudaraan, kepemimpinan, berwirausaha, seluruhnya sempurna. Tak cukup jutaan lembar kertas untuk menuliskan keindahan pribadinya, diperlukan samudera tinta guna melukiskan kemuliaan akhlaknya.

Tetapi saya? Tak berani menyebut satu saja keunggulan pribadi diri ini. Sebab, satu terbilang, maka seratus keburukan segera terucap. Andaikan saya setampan Yusuf, mungkin saya akan sombong dan tak bersyukur. Misalkan saya sepemberani Daud, belum tentu digunakan untuk membela kebenaran. Adapun saya pernah membantu seseorang, pamrih, ujub, riya pun mengiringi perbuatan itu.

Jangankan untuk meniru sifat para Nabi dan Rasul, mendekatinya pun tak mungkin. Jangankan menyamai pribadi mereka, mengikuti jejak para sahabatnya pun tak sanggup. Berkaca pada manusia-manusia pilihan-Mu ya Rabb, saya malu, teramat malu.

Jika demikian adanya, di pintu mana saya boleh mengetuk surga-Mu?
(gaw) > (http://www.warnaislam.com/)

Posted by Azhar Muhammad N.T :: 3:29 PM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------