Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Friday, August 24, 2007

Bukan Perempuan Biasa

Tidak ingin mengecewakan nenek, akhirnya saya menuruti kemauan beliau agar kami berdua turun di Palur saja, bukan di terminal Tirtonadi seperti yang direncanakan semula. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari, untunglah waktu itu ada angkutan umum yang tengah berhenti menunggu penumpang, sebuah mobil pick-up dengan atap yang menaungi bak terbuka di bagian belakang, kursinya berhadap-hadapan. Nenek duduk di depan di samping supir, saya di belakang sambil menunggui barang bawaan kami. Dan kami pun melanjutkan perjalanan ke Karangpandan, salah satu kecamatan di wilayah kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.

Mobil itu awalnya memang kosong, namun di tengah jalan penumpangnya perlahan-lahan bertambah, dan pemandangan itu pun muncul di hadapan saya. Pemandangan yang sebenarnya bukan sekali itu saya temui. Dulu ketika pulang ke Bondowoso di pagi buta, saya naik bis umum dari Jember, dan saya pun mendapati pemandangan seperti ini. Sekawanan ibu-ibu yang berangkat ke pasar dengan seabreg barang dagangannya. Diantaranya bahkan ada yang sudah nenek-nenek.

Mereka ini memang perempuan, namun itu tidak menghalangi niat mereka untuk berjuang menghidupi diri dan keluarganya. Bahkan jika dipikir-pikir, perjuangan mereka mungkin bisa dibilang lebih keras dari apa yang bisa saya kerjakan sejauh ini. Belum tentu saya mampu mempersiapkan diri saya pagi-pagi seperti mereka. Habis sholat shubuh malah kadang-kadang saya tidur lagi. Dalam masalah menikmati waktu berjuang seperti ini, saya pun harus belajar banyak dari perempuan-perempuan ini.

**********

Makanan untuk sarapan disiapkan dini hari, makanan untuk makan siang disiapkan pagi-pagi, dan waktu siang dipakai untuk mempersiapkan makan malam. Seperti inilah yang saya lihat dari ibu-ibu dan mbak-mbak yang bekerja di bagian dapur pondok ini. Di balik sifat lembut yang sudah menjadi karakter khasnya, mereka juga rela berpeluh-peluh dan terkuras tenaganya untuk melayani ribuan orang (tidak hanya santri, mantan santri kaya saya juga) di lingkungan pondok ini. Di antara mereka malah ada yang bekerja di situ sejak saya masih belajar di sini. Seperti halnya ibu-ibu pedagang di atas, perempuan-perempuan ini juga luar biasa. Kalo saya sih belum tentu bisa setelaten mereka.

*********

Ada yang bilang, jilbaber itu makhluk manis yang paling-paling tidak akan mau mengerjakan pekerjaan yang agak kasar sedikit seperti yang biasanya dilakukan gadi-gadis non-jilbaber. Tapi ternyata di daerah pinggiran sana, ada yang beberapa jilbaber yang tiap pagi menjajakan tempe dengan mancal sepeda. Ada juga yang berjualan susu, tahu, sayur, dan sebagainya dengan memakai sepeda. Malah di tempat lain ada yang dengan jilbab panjangnya terjun ke sawah untuk membantu mengolah sawah, tidak hanya di musim panen yang memang medannya agak ringan, tetapi juga di musim tanam ketika sawah yang kering berubah menjadi kubangan air. Kaos kaki tetap mereka pakai walaupun dibungkus plastik kresek.

Ada lagi yang setia dengan pekerjaannya, membantu orang tuanya mengangkat genteng-genteng yang sudah selesai dibakar sampai memerah, mengaduk-aduk isi tungku pembakaran sambil sesekali terbatuk-batuk kecil; memakai jilbab yang sudah mulai pudar warnanya. Sementara ayahnya –pak penjual genteng- yang sudah mulai tua terduduk dengan peluh bercucuran, kelelahan. Demi kuliah anaknya juga.

**********

Perempuan-perempuan ini, semoga rahmat-Nya tercurahkan ke atas mereka, semoga hidayah-Nya menaungi mereka, semoga taufiq-Nya senantiasa menghiasi hidup mereka, semoga ridlo-Nya menyertai pekerjaan mereka.


Posted by Azhar Muhammad N.T :: 8:09 AM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------