Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Thursday, July 20, 2006

Agama; Antara Pengamalan Nilai dan Penampakan Simbol

Manusia yang hidup tanpa agama, saya ibaratkan sebagai orang yang berjalan dalam gelap tanpa alat penerang sama sekali. Ia akan bingung harus mengambil arah yang mana. Salah sedikit bisa menyebabkan ia tersandung batu, menabrak dinding, atau bahkan jatuh ke jurang. Dalam kehidupan kita sehari-hari, acapkali kita temukan orang dengan kualitas spiritual nol besar, orientasi hidupnya hanyalah untuk kenikmatan duniawi semata. Lahir, belajar, bekerja, menikah, mati, dan selesai urusan. Fenomena ini berbeda bila dibandingkan dengan orang yang beragama. Islam sebagai agama yang saya anut dan saya yakini kebenarannya, lebih dari sekedar petunjuk. Agama ini mengajarkan bahwa ada kehidupan setelah mati, ada hal-hal yang mesti kita laksanakan untuk bekal kita memasuki hidup yang kekal tersebut, dan masih banyak hal-hal lain yang harus kita pelajari dan kita amalkan dari agama ini.

Sekian milyar penduduk bumi ini ternyata tidak hidup dalam satu agama. Di Indonesia saja, ada bermacam-macam agama. Salah satu hal yang membuat saya bangga adalah, bahwa penganut agama Islam ternyata menjadi mayoritas di negara kita. Well, terlepas dari perasaan bangga tadi, saya rasa kita perlu melihat betapa sisi agama bisa menjadi sangat sensitif ketika disentuh dan diusik. Salah satu contohnya adalah gugatan terhadap salah satu band papan atas, Dewa karena dianggap melecehkan Islam dengan menggunakan simbol yang mirip kaligrafi Islam yang ber­tu­lis­kan nama Allah, selain itu lambang itu pernah dijadikan alas panggung yang diinjak-injak saat Dewa tampil dalam suatu konsernya. Lebih dari itu, logo itu juga menghiasi foto-foto para per­so­nel Dewa yang bertato. Belajar dari kasus ini dan kasus-kasus sejenis, saya pikir kita bisa memahami bahwa bukan hanya umat Islam, umat agama apapun akan marah jika agama yang menjadi kepercayaan dan mereka sucikan diinjak-injak.

Selain itu, setiap agama yang ada di dunia ini memiliki sesuatu yang menjadi identitasnya dan membedakannya dengan agama lain, seperti Islam yang meyakini Allah sebagai tuhan, Muhammad SAW sebagai nabi, memiliki masjid sebagai tempat ibadah, al-Qur’an sebagai kitab suci, jilbab sebagai penutup aurat, dan lain-lain. Kemudian sebagian orang membahasakannya sebagai simbol agama.

Di era globalisasi seperti saat ini, simbol-simbol ini (bagi yang sepakat dengan penamaan ini) ternyata pada suatu waktu beralih fungsinya menjadi salah satu sarana untuk mendukung kepentingan pihak tertentu, seperti dalam masalah kampanye Pilkada misalnya. Dengan sensitifitasnya, rasanya tak salah jika dikatakan bahwa agama saat ini termasuk alat yang efektif untuk meraih kekuasaan. Maka tak heran jika sebagian pihak memanfaatkan kondisi masyarakat awam yang umumnya berpegang erat pada tradisi keagamaan untuk memuluskan jalannya. Caranya bisa macam-macam, salah satunya adalah dengan mereproduksi simbol-simbol agama dalam kekuasaan. Realisasinya bisa dalam bentuk penggunaan berbagai properti maupun ikon keagamaan. Tidak mengherankan jika politisi dan penguasa mengambil berbagai properti maupun ikon keagamaan seperti pemakaian bahasa agama. Tidak ketinggalan juga pelaksanaan ritual keagamaan sebagai sarana mobilisasi massa, seperti istighotsah atau tabligh akbar, shalat atau dzikir berjamaah dan umroh. Terlepas dari masalah pantas atau tidak, tak urung masalah penggunaan simbol-simbol ini, termasuk dalam ranah politik, kerap mengundang pertanyaan. Karena dengan politisasi semacam ini, akan menyiratkan bahwa agama tidak terapresiasi dalam kaitannya dengan nilai-nilai spiritual, melainkan diterapkan untuk mencari kekuasaan. Dengan demikian, moralitas kekuasaan telah menggantikan bentuk-bentuk pemaknaan atas agama. Agama tidak lagi menjadi sumber kesadaran spiritualitas, melainkan bentuk baru untuk mempertahankan kekuasaan.

Saya termasuk yang tidak setuju ketika dikatakan bahwa agama tidak pantas untuk diikutsertakan dalam mewarnai kancah politik, termasuk dengan alasan menjaga kemurnian agama. Justru dengan menyingkirkan aspek agama dari kancah politik ini sesungguhnya kita telah membunuh salah satu unsur kemurnian agama itu sendiri. Tapi saya ingin mengatakan bahwa semaraknya penampakan simbol-simbol agama bila dimaksudkan semata-mata untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan tetap melestarikan kemungkaran-kemungkaran seperti praktek suap, korupsi, pembodohan masyarakat dengan fatwa haram memilih calon tertentu tanpa dasar yang jelas, dan sebagainya, maka hal itu juga tidak bisa dikatakan baik. Lain cerita jika kekuasaan yang akhirnya bisa diraih atau dipertahankan tersebut sepenuhnya diabdikan sebagai pelayanan terbaik bagi masyarakat luas untuk menciptakan kesejahteraan, perdamaian, dan kerukunan.

Saya meyakini bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sarat dengan nilai-nilai yang bila diamalkan akan membawa kita pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Nilai-nilai ini mengatur hubungan kita dengan Allah, hubungan kita dengan sesama manusia, juga hubungan kita dengan makhluk yang lain. Menurut saya, tidak ada yang salah dengan penampakan simbol-simbol agama dalam konteks politik maupun konteks-konteks yang lain selama hal itu ditujukan untuk kemaslahatan, dengan dasar yang jelas, dengan cara yang baik, dan dengan memperhatikan kondisi sosio-kultural masyarakat kita. Jika hal itu tidak mampu dilakukan, maka pengamalan nilai-nilai agama yang didasarkan pada pemahaman agama yang benar meskipun tidak terang-terangan akan lebih baik daripada sekedar menampakkan simbol-simbol agama tanpa niat yang tulus. Namun bukan berarti kita selalu pasif, pada suatu waktu kita berhak menuntut sesuatu yang menjadi hak kita, misalnya ketika ada pelarangan jilbab, tentu kita tak bisa tinggal diam. Karena pemakaian jilbab bukan sekedar simbol, lebih dari itu ia adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Mencari dukungan dengan menghindari money politic atau menjauhi korupsi meskipun tanpa digembar-gemborkan, akan lebih baik daripada menam­pak­kan simbol agama di depan publik namun bukan representasi dari kesadaran beragama tapi se­kedar untuk memperoleh, memperkuat, dan mempertahankan dukungan dan kekuasaan. Lalu, ketika kekuasaan sudah dalam genggaman dengan mudah simbol itu hilang, atau paling tidak perilaku keagamaan semacam itu merupakan perilaku semu dan sifatnya musiman. Jika dibawa pada konteks yang lain, bagi saya akan lebih baik bila kita hidup rukun, bersikap terbuka dan mene­rima perbedaan antara kita dengan orang lain, asalkan tidak menyentuh masalah aqidah, daripada bersikap tertutup, menganggap dirinya paling benar sendiri, atau hanya mau bergaul dengan orang yang dianggap golongannya. Tidak ada yang salah dengan keberadaan simbol-simbol dan nilai-nilai agama di tengah-tengah kita, tapi mungkin kita yang kadang-kadang salah dalam berinteraksi dengannya. Wallaahu a’lamu bish shawaab

Posted by Azhar Muhammad N.T :: 11:19 PM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------