Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Thursday, August 30, 2007

Cinta Yang Tak Bertepi

Kabut pasir, hujan batu kerikil, juga caci-maki. Anak-anak, hamba sahaya, juga tetangga keluarga Amr bin Umair bin Auf ats-Tsaqafi berhamburan keluar rumah. Berbaris, berjajar di sepanjang jalan dari rumah penguasa kota Thaif itu. Batu kerikil di tangan. Pasir berguguran dalam genggaman. Mulut-mulut berteriak penuh cacian. Mereka seperti berlomba melempar.

Dua orang lelaki tak berdaya tertatih di bawah hujan batu, kerikil, dan pasir serupa terseret di dalam badai gurun sahara yang terik. Mereka mengarahkan batu-batu itu ke kaki Nabi SAW. Kedua kakinya luka menganga, berdarah-darah. Manusia yang mulia itu bahkan sampai harus berjalan merangkak-rangkak menahan sakit. Zaid bin Haritsah yang menyertainya pun tak luput dari sasaran. Kepalanya luka parah berkucur darah terkena lemparan batu. Sementara kerikil, batu, dan pasir tak henti beterbangan dari tangan-tangan keluarga Bani Tsaqif itu.

Caci-maki dan ejekan terus berlangsung hingga kedua lelaki itu sampai di sebuah kebun di luar kota. Mereka pun bubar. Nabi SAW dan Zaid lalu berteduh di tempat itu. Menunggu luka terhenti dan mengering, barang sesaat. Demi mengetahui kalau kebun itu milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah yang juga memusuhi beliau di Mekah, Rasul pun mengadu.

“Ya Allah, kepada Engkaulah aku mengadukan kelemahan kekuatanku dan sedikitnya daya upayaku dan kehinaan bagi manusia. Ya Tuhan Yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang berkasih sayang”

***

Abu Thalib baru saja wafat. Hanya berselang hari, Khadijah yang amat dicintainya pun pergi untuk selamanya dari sisinya. Lelaki itu telah kehilangan dua orang yang amat dikasihinya dalam waktu yang hampir bersamaan, serupa kehilangan kaki untuk melangkah sekaligus punggung buat bersandar. Ia memang seorang Nabi. Tetapi ia pun seorang manusia biasa. Kehilangan dua orang yang amat dikasihinya dan selama ini menjadi tulang-punggung dakwahnya tentu merupakan pukulan yang berat. Tidak ada dukacita yang lebih besar beliau rasakan sejak bertemu Jibril di Gua Hira kecuali saat itu.

Tekanan Quraisy pun menjadi. Cercaan, hinaan, dan perlakuan menyakitkan dari mereka siang malam terus diterimanya tanpa henti. Nabi lalu pergi secara diam-diam ke Bani Tsaqif di Thaif untuk mengobati dukanya ini. Semula beliau membawa harapan yang besar, mengingat pemuka mereka masih keluarga dekatnya. Tetapi apa yang kemudian dialaminya bersama Zaid sungguh jauh panggang dari api. Alih-alih mengharap pelita segera terpetik di daerah sebelah tenggara Mekah yang subur itu, justru yang beliau terima adalah hujan batu dan sumpah-serapah.

***

Ketika keduanya selesai beristirahat di kebun itu dan kemudian meneruskan perjalanan kembali ke Mekah, datanglah malaikat Jibril diiringi malaikat penjaga gunung.

“Ya Rasulullah” kata Jibril. “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu dan penolakan mereka kepadamu. Dia telah mengutus malaikat penjaga gunung supaya engkau perintahkan kepadanya apa yang engkau kehendaki atas kaum Bani Tsaqif itu.”

“Ya Rasulullah” sahut malaikat penjaga gunung. “Jika engkau mau supaya aku melipatkan kedua gunung yang besar ini di atas mereka, niscaya akan aku lakukan.”

Gunung Abu Qubais dan Qa’aiqa’an tampak kokoh berhadapan di kejauhan bak dua raksasa yang berdiri diantara Mekah dan Thaif. Melemparkan keduanya ke atas perkampungan Bani Tsaqif akan serupa hujan batu atas kaum Sadum ketika mendustakan Nabi Luth as.

“Tidak Jibril!” jawab Nabi tegas. “Bahkan aku berharap mudah-mudahan Allah memberikan kepada mereka keturunan yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”

***

Serupa apakah cinta sejati itu? Mungkin cinta jika cuma terkatakan hanyalah berarti setengah cinta atau cinta setengah. Kalau tidak malah jadi cinta setengah-setengah. Sebagian besar cinta boleh jadi justru mengejawantah pada selain indahnya kata. Pada senyum yang tulus, mata yang teduh, tangan yang terulur, bahu yang memikul, kaki yang bergerak ringan, hingga dekap erat-hangat.

Cinta juga terlihat pada kesediaan berbagi, menjalani, dan berkorban apa saja demi sesuatu atau seseorang yang dicinta. Dan barangkali cinta mencapai puncaknya ketika seseorang mau bertaruh nyawa untuk sang kekasih, berkorban hingga tetes darah terakhir demi yang dicinta.

Bagaimana halnya jika seseorang merelakan dirinya terluka oleh yang dicinta dan tak pernah mau memendam dendam untuk suatu saat menuntut balas jika berkesempatan? Boleh jadi inilah cinta sejati. Itulah cinta yang nyaris tak bertepi.

Rasulullah SAW adalah sosok pribadi dengan cinta yang nyaris tak bertepi itu. Batu kerikil yang beterbangan menyayat luka di kulit, darah yang mengalir diiringi sakit, juga cacian, hinaan, ejekan, dan sumpah-serapah yang diterimanya pada peristiwa di Thaif rasanya sudah lebih dari cukup untuk tidak pernah dimaafkan. Kalau perlu dituntut balas dengan sepadan perih.

Ia memang manusia biasa. Tetapi bagaimanapun, ia bukanlah manusia biasa seperti kita. Kecintaan pada yang dicintanya sungguh tiada berbatas. Dan yang amat dicintanya itu tidak lain adalah kaum kepada siapa beliau diutus, termasuk kita. Cinta itu ditunjukkannya nyaris pada sepanjang hayat. Bahkan ketika saat-saat terakhir menjelang beliau pergi, bagian dari yang disebut bibirnya yang mulia adalah ummati, ummati. Umatku, umatku. Sungguh cinta kepada umatnya dibawanya hingga tarikan nafas terakhir.

Begitu pulalah yang terjadi di jalan antara Thaif dan Mekah itu. Ketika kedua malaikat menawarkan diri melempar kaum Tsaqif dengan dua gunung sebagai bentuk balasan atas penghinaan itu, Rasulullah hanya menggeleng. Meski kaumnya memusuhinya begitu rupa, cintanya kepada mereka sudah terlanjur tak bertepi.

***

“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan supaya aku menuruti keinginanmu terhadap kaummu Ya Rasulullah, karena perbuatan mereka kepadamu.” sambung Jibril demi mendengar jawaban Nabi, “

Lemparan batu, kerikil dan pasir masih membekas di tubuhnya yang mulia. Peristiwa penghinaan itu masih sangat segar di ingatan. Bahkan luka di kedua kaki beliau belum juga mengering. Tetapi beliau justru memanjat doa.

“Ya Allah, tunjukkanlah (jalan yang lurus) kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengerti.”

Jibril dan malaikat penjaga gunung kemudian sama-sama berkata, “Maha benar Tuhan yang telah menamakan dirimu pengasih serta penyayang” (NapakTilas)

Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku.

Jika cinta memelukmu, maka dekaplah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu (Kahlil Gibran)


Posted by Azhar Muhammad N.T :: 8:41 AM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------