Thursday, September 20, 2007
Guru Para Pemberani
Suatu pagi di kaki Gunung Uhud, 11 Syawal tahun ke-3 selepas hijrah. Di kejauhan sana, debu membubung tinggi memenuhi angkasa diiringi talu genderang perang yang ditabuh bersahutan. Tepuk-sorak membahana disela-sela wanita-wanita yang menari riang. Pasukan Quraisy Makkah telah datang lebih dulu dengan kekuatan 3000 pasukan terlatih bersenjata lengkap di tempat ini. Tujuh ratus diantaranya berbaju besi, dua ratus orang menunggang kuda, dan sisanya menunggang unta. Tempat-tempat strategis telah mereka kuasai.
Pasukan muslimin tinggal mendapatkan sisanya. Sebuah ruang di kaki gunung dengan jalan lebar membentang di belakangnya, jalan empuk bagi musuh menyerang dari belakang. Setelah 300 pasukan Abdullah bin Ubay lebih dulu meninggalkan mereka di Syawath dan kembali ke Madinah, maka lengkaplah sudah kondisi pasukan yang mengikuti Nabi ke tempat ini. Tujuh ratus orang tersisa, peralatan seadanya, dan sebagian besar diantaranya tak terbiasa berperang. Seorang anggota pasukan Quraisy maju menunggang untanya ke tengah medan pertempuran. Pedang di tangannya terhunus berkilat-kilat diterpa cahaya matahari seperti haus darah mangsanya.
“Siapa yang akan maju berperang tanding?” tanyanya pongah ke arah barisan kaum muslimin.
Zubair bin Awwam meringsek maju di atas untanya. Perang tanding pun berlangsung seru hingga keduanya terpental dari untanya. Zubair terjatuh di atas musuhnya. Dan dengan sekali tebas, maka terbunuhlah orang musyrik itu.
Nabi pun bersabda, “Bagi setiap nabi tentu ada pembantunya. Dan pembantuku adalah Zubair”
Kini maju seorang pasukan Quraisy bernama Thalhah. Ia pun sesumbar, “Siapa kini yang akan berperang tanding denganku?” Pasukan muslimin bergeming.
“Hai pengikut Muhammad! Kalian telah menyangka Tuhan mempercepat kami dengan pedangmu ke neraka dan mempercepat kalian dengan pedang kami ke syurga?” Thalhah berteriak beberapa kali menantang.
”Sungguh kalian berdusta, demi Latta dan Uzza! Kalau kalian tahu betul-betul begitu, keluarlah seorang dari kalian sekarang!”
Seketika keluarlah dari barisan muslimin Ali bin Abi Thalib. Keduanya lantas berperang-tanding dengan sengit. Pada suatu kesempatan, menantu Nabi itu berhasil membabat kaki Thalhah dan jatuhlah orang itu dengan kaki terputus. Tampaklah kemaluannya! Ali segera meninggalkannya meski orang itu belum mati.
“Apa yang melarang kamu membunuhnya, wahai Ali?” seru Nabi.
“Karena dia menampakkan kemaluannya padaku, ya Rasulullah! Aku kasihan kepadanya”
“Bunuhlah!”
Ali pun kembali ke medan pertempuran dan menyelesaikan tugasnya. Sorak-sorai takbir membahana dari barisan kaum muslimin. Pasukan Quraisy kemudian mengeluarkan prajurit terbaiknya. Utsman bin Abi Thalhah. Keluarlah Hamzah bin Abdul Muthalib dari pasukan muslimin. Hamzah pun berhasil membunuh Utsman. Kaum musyrikin mengeluarkan lagi prajuritnya, Abu Sa’id bin Abi Thalhah. Keluar pula Sa’ad bin Abi Waqqash dari kaum muslimin. Sa’ad pun berhasil membungkam Abu Sa’id dalam perang tanding itu.
Keluarlah Musafi bin Thalhah dari kaum musyrikin. Ashim bin Tsabit maju dari barisan kaum muslimin untuk menghadapinya. Dalam duel itu, Musafi tewas di tangan Ashim. Harts bin Thalhah, saudara Musafi, keluar menantang Ashim. Ashim kembali ke arena dan terbunuhlah Harts di tangannya.
Kilab bin Thalhah kini maju dari barisan kaum musyrikin. Untuk menghadapi, kaum muslimin mengeluarkan Zubair untuk kedua kalinya. Zubair pun berhasil membunuh Kilab. Pasukan musyrikin lalu mengeluarkan Jallas bin bin Thalhah, saudara Musafi, Harts, dan Kilab. Kaum muslimin mengeluarkan Thalhah bin Ubaidillah. Dalam perang tanding itu, Jallas terbunuh oleh pedang Thalhah.
Kaum musyrikin belum puas. Mereka mengeluarkan seorang yang gagah perkasa bernama Arthah bin Surahbil. Kaum muslimin mengeluarkan Ali bin Abi Thalib untuk kedua kalinya. Keduanya bertanding sama-sama kuatnya. Hingga akhirnya, setelah melalui duel yang keras, Ali berhasil membunuh Arthah.
Seorang lagi keluar dari barisan kaum musyrikin. Suraih bin Qaridh. Hamzah keluar kedua kalinya untuk menghadapinya. Dan tewaslah Suraih di tangan Hamzah. Mereka masih menantang juga dengan keluarnya Abu Zaid bin Amr. Qasman dari kaum muslimin maju menghadapinya. Abu Zaid pun dikalahkan oleh Qasman.
Quraisy kembali mengeluarkan jagonya. Kini anak Surahbil, saudara Arthah yang telah dibunuh Ali, keluar dari barisan kaum musyrikin. Qasman kembali menghadapinya. Dan terbunuhlah anak Surahbil itu di tangannya.
Belum puas juga, Quraisy mengeluarkan Shu’ab dari Habsyi. Qasman kembali menghadapi Shu’ab. Qasman, untuk ketiga kalinya, bisa membunuh musuhnya di medan perang tanding. Setelah itu, kaum Quraisy tak mengeluarkan lagi seorang jagonya untuk berperang tanding. Peperangan kedua pasukan belum juga mulai. Tetapi, kaum Quraisy sudah kehilangan 12 orang anggota pasukan terbaiknya. Dan tak seorangpun terbunuh dari kaum muslimin.
*****
Ketika sebuah pasukan kecil yang tak semuanya terlatih dengan penuh kesadaran datang ke sebuah tempat yang tak menguntungkan untuk berhadapan dengan sebuah pasukan yang empat kali lipat lebih banyak, lebih besar, lebih lengkap persenjataannya, dan sebagian besar diantaranya jago berperang, apa yang dimiliki oleh pasukan kecil itu? Jawabnya adalah sebuah “keberanian” yang tiada tara.
Apakah “keberanian” itu? Ketika menghadapi orang yang lebih lemah, pasukan yang lebih kecil, ataupun situasi yang sangat mudah dan dapat diduga, apakah diperlukan sebuah keberanian? Mungkin tak perlu, karena keberanian adalah sebuah sikap yang tidak memiliki rasa takut ketika menghadapi sesuatu yang berbahaya, lebih sukar, dan tak bisa ditebak. Keberanian bisa tumbuh karena banyak hal. Namun apapun alasannya, konsekuensi sebuah keberanian adalah adanya suatu resiko yang harus dibayar. Boleh jadi berupa hilangnya jabatan, kekayaan, kesempatan, juga rasa sakit, atau bahkan hilangnya nyawa, dan inilah keberanian yang paling puncak itu.
Tidaklah seseorang bisa memiliki keberanian yang paling puncak itu kecuali pasti ia telah ditempa oleh sebuah didikan yang maha hebat untuk bisa sampai pada pencapaian itu. Sebuah didikan yang menjadikan “menang” dan “mati” sebagai dua motivasi paling dominan. Bahwa Allah pasti akan memberikan “kemenangan” kepada orang-orang yang beriman atas musuh-musuhnya. Dan bahwasannya “mati” justru menjadi sesuatu yang bahkan sangat dicari dan dirindukan (syahid). Bagaimanapun, mati seperti ini adalah sebuah “kemenangan” pula, meski dalam bentuk yang lain.
Inilah yang menyebabkan pasukan muslimin itu memiliki keberanian yang luar biasa untuk menghadapi pasukan yang lebih besar dibanding pertempuran mereka di Badar setahun sebelumnya. Dan hanya berbekal keberanian puncak itulah Zubair, Ali, Hamzah, Sa’ad, Ashim, Thalhah, Qasman maju ke arena dan menyelesaikan perang tandingnya.
Jika mereka saja mampu menjadi pasukan pemberani seperti itu, apalagi gurunya, Rasulullah SAW. Perang Uhud ini pun sempat menjadi saksi akan keberanian itu.
***
Akibat teledornya regu pemanah, pasukan muslimin dibuat kocar-kacir oleh pasukan berkuda Khalid bin Walid. Nabi terluka di beberapa bagian mukanya yang mulia. Dahi, pipi, bibir bawah. Sebagian gigi sang kinasih itu pun pecah dan menusuk daging bibirnya. Bahkan dua potong besi menembus gusinya. Wajahnya berlumur darah.
Dalam keadaan demikian, datanglah Ubay bin Khalaf. Ia berbaju besi lengkap dan memacu kudanya dengan kencang ke arah Nabi dengan pedang di tangan. Ia lalu meloncat dari kudanya hendak menyerang lelaki mulia itu. Seorang sahabat segera menghadangnya. Namun, ia terbunuh oleh pedang Ubay yang menyerang ganas.
“Mana orang yang mendakwahkan dirinya nabi itu? Hendaklah ia melawanku!” serunya sombong dengan pedang berlumur darah di tangan.
”Jika ia benar-benar seorang nabi, tentu aku dibunuh olehnya. Ayo majulah melawanku!”
Ia terus meringsek maju ke arah Nabi yang dijaga ketat oleh sekalian sahabat yang tersisa.
”Mana Muhammad!” Ia mengacung-acungkan pedangnya.
”Aku tidak selamat kalau kamu selamat! Aku tidak selamat kalau kamu selamat!”
Mendengar seruan Ubay, lelaki mulia itu pun menyuruh para sahabatnya untuk minggir. Tersibaklah pagar betis para sahabat. Ia kini berdiri tanpa pendamping, tegak di tempatnya seperti gunung Uhud, dan dengan tenang menunggu serangan Ubay. Di tangannya tergenggam tombak milik Harits ibnu Shammah. Pada mukanya darah segar masih tampak menetes-netes.
Ubay nyalang! Ia segera menghambur ke arah lelaki itu dengan pedang teracung. Membunuh Muhammad dan membungkam dakwahnya untuk selamanya, adalah tujuan utamanya datang ke medan perang ini. Dan kesempatan itu agaknya sudah ada di depan matanya. Tetapi belum lagi ia menyadari, lelaki mulia itu tiba-tiba mengayunkan tombak di tangannya. Keras! Deras! Dan senjata berujung runcing itu menembus satu-satunya celah terbuka antara baju besi dan topi besi Ubay. Menusuknya tepat di leher.
Laki-laki itu pun jatuh tersungkur dari kudanya. Pedang terlepas dari tangannya. Ia lalu berusaha bangkit dengan susah-payah, tertatih menunggang kudanya kembali, lalu lari terbirit-birit dengan luka menganga di lehernya. (bahtiarhs.multiply.com)
Posted by Azhar Muhammad N.T ::
7:16 PM ::
0 Comments:
Post a Comment
---------------------------------------
Monday, September 03, 2007
Pulang Membawa Kekasih
Lembah Hunain kembali menjadi saksi bahwa jumlah yang besar seringkali tak lebih dari sekawanan keledai yang kurang gizi. Pagi itu, pasukan gabungan dari Bani Tsaqif, Hawazin, Jusyam, Bakar, dan Hilal semburat lari seperti debu tertiup badai padang pasir siang hari. Sorak-sorai kesombongan 20 ribu anggota pasukan mereka lenyap dalam beberapa jam setelah berhasil dibungkam oleh pasukan muslimin yang hanya 12 ribu orang.
Kini dunia yang menyilaukan tampak di depan mata kaum muslimin: ghanimah yang besar, serupa manna dan salwa yang diturunkan dari langit untuk Bani Israil. Tak kurang 24 ribu ekor unta, 40 ribu ekor kambing, 4 ribu uqiyah perak berhasil dirampas. Juga tawanan 6 ribu personel, laki-laki dan perempuan. Mereka kemudian dikumpulkan di lembah Ji’ranah.
Inilah yang kemudian dilakukan Nabi. Beliau memberi bagian Abu Sufyan bin Harb, dedengkot Quraisy itu, 100 ekor unta dan 40 uqiyah perak. Kedua anaknya, Yazid dan Mu’awiyah diberikan bagian yang sama dengan ayahnya. Nabi juga memberikan 100 ekor unta kepada beberapa orang Quraisy termasuk Hakim bin Hizam, Nushair bin Harits, Harits bin Hizam, dan Shafwan bin Umayyah. Sebagian lainnya diberi bagian kurang dari 100 ekor unta. Di luar itu, setiap anggota pasukan berjalan kaki mendapat 4 ekor unta dan 40 ekor kambing dan anggota pasukan berkuda mendapat 12 ekor unta dan 120 ekor kambing. Terlihatlah bahwa orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam setelah fathul Ma’kah mendapatkan bagian yang lebih banyak, bahkan istimewa, dibanding mereka yang telah lama masuk Islam
“Ya Muhammad!” kata seorang dekil yang tiba-tiba datang kepada Nabi. “Takutlah olehmu kepada Allah! Aku telah melihat apa yang telah engkau perbuat hari ini!”
Nabi bertanya, “Baik! Bagaimana yang kamu lihat, wahai Kisanak?”Orang itu menjawab, “Aku tidak melihat keadilan engkau!”
Wajah lelaki agung itu memerah. Beliau bersabda, “Apabila keadilan tidak ada padaku, lantas pada siapa adanya?”
“Ya Rasulullah!” Umar bin Khattab yang melihat peristiwa itu seketika menyela. “Tidakkah aku lebih baik membunuh orang ini?”
*****
Rupanya ada yang tertinggal dalam pembagian ghanimah itu. Kaum Anshar. Tak seorang pun mendapatkan bagian istimewa sebagaimana orang Quraisy yang baru masuk Islam. Bisik-bisik muncul diantara mereka. Agak sinis, bahkan, dan menjalar seperti api dalam setumpukan jerami yang kering. “Sekarang, Rasulullah telah berjumpa dengan kaumnya.”
Sa’ad bin Ubadah tak kuat mendengar ungkapan perasaan kurang baik terhadap Nabi itu. Maka ia pun menyampaikannya kepada Nabi SAW. “Engkau telah membagikan kepada kaum engkau sendiri dan kabilah Arab lainnya dengan pembagian yang banyak. Sedangkan golongan Anshar tidak mendapatkan bagian sedikitpun.”
Wajah Nabi kembali memerah. “Kumpulkanlah kaummu kepadaku, wahai Sa’ad, di tempat perkemahan ini!”
Sa’ad lalu segera mengumpulkan orang-orang Anshar di tempat itu.
“Barangsiapa ada di sini selain Anshar, hendaklah ia kembali ke tempatnya!” kata Nabi membuka percakapan. Sejenak kemudian beliau bertanya, “Wahai kaum Anshar! Apakah desas-desus yang telah sampai kepadaku adalah perasaan yang kalian rasakan terhadapku?”
“Ya Rasulullah,” jawab seorang diantara mereka. “Para ketua kami tidaklah mengatakan apa-apa. Orang-orang muda kamilah yang telah berkata ‘Mudah-mudahan Allah memberi ampunan kepada Rasul-Nya, karena telah memberi bagian kepada kaum Quraisy dan tidak kepada kami. Padahal, pedang-pedang kamilah yang meneteskan darah-darah mereka.’”
Rasulullah lalu bersabda, “Wahai orang-orang Anshar! Bukankah ketika aku datang, kalian masih dalam kesesatan, kemudian Allah memberikan hidayah kepada kalian karena aku? Bukankah ketika itu kalian masih menderita, kemudian Allah mencukupi kalian karena aku? Bukankah kalian ketika itu masih saling bermusuhan, kemudian Allah mempersatukan hati kalian karena aku?”
Wajah-wajah itu pun menunduk. Tatapan mereka jatuh ke tanah. Kemudian seorang menjawab, “Benar, ya Rasulullah! Allah dan Rasul-Nya amat murah dan mengaruniai. Karena itu, kami telah dengan rela dan tulus kepada Allah sebagai rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi. Berbuatlah apa yang menjadi kehendak engkau, ya Rasulullah, karena engkaulah dalam kehalalan!”
*****
Sikap reaktif adalah sikap seseorang yang gagal membuat pilihan respon pada saat mendapatkan rangsangan (stimulus). Jika Anda selalu marah kalau dicemooh, maka Anda termasuk reaktif, karena selalu memberikan respon yang sama terhadap suatu rangsangan. Binatang secara umum adalah makhluk yang reaktif. Kalau dipukul, reaksinya hanya dua: takut atau marah. Coba saja Anda pukul seekor anjing yang melintas. Kalau ia tidak lari, maka Andalah yang akan lari.
Berbeda dengan reaktif, menurut Covey, proaktif adalah kemampuan seseorang untuk memilih respon. Sikap proaktif adalah sikap seseorang yang mampu membuat pilihan dikala mendapatkan rangsangan. Seseorang yang bersikap proaktif mampu memberi jeda antara datangnya rangsangan dengan keputusan untuk memberi respon. Pada saat jeda tersebut seseorang yang proaktif dapat membuat pilihan dan mengambil respon yang dipandang terbaik bagi dirinya.
Bila dibandingkan dengan binatang yang senantiasa reaktif, manusia bisa bersikap proaktif. Saat dipukul, manusia reaksinya bisa lebih beragam. Ia memang bisa marah. Tetapi, boleh jadi ia akan diam atau justru tersenyum (jika dipukul mesra pasangan misalnya). Manusia punya kendali untuk memilih respon terhadap rangsangan tertentu.
Sikap proaktif sangat berguna bagi manusia terutama dalam menghadapi masalah maupun dalam berinteraksi dengan manusia lain. Sikap proaktif menunjukkan tingkat kecerdasan emosi (EQ) yang tinggi. Permasalahannya adalah tidak banyak orang bisa memilih respon terbaik terhadap sebuah masalah. Apalagi jika itu berhubungan dengan dunia dan keduniaan. Bagaimanapun cinta dunia adalah penyakit yang diderita hampir setiap orang.
Ketika orang Quraisy, apalagi yang baru masuk Islam, mendapatkan bagian ghanimah Hunain yang lebih besar dari mereka, kaum Anshar langsung bereaksi. Mereka merasa lebih berhak mendapatkan bagian yang lebih besar ketimbang para muallaf itu — apalagi beberapa diantaranya sangat memusuhi Islam di masa awal seperti Abu Sufyan bin Harb. Namun, bagaimanapun, ini adalah reaksi yang wajar.
Rasulullah tak membiarkan sikap reaktif yang salah ini terus berlangsung. Dan rupanya, orang-orang Anshar yang dididik langsung di bawah tarbiyah Rasulullah SAW telah memilih pilihan yang lebih baik ketimbang ghanimah. Mereka telah memilih sikap proaktif jauh sebelum Covey 14 abad kemudian menulis bukunya.
*****
Wajah-wajah di perkemahan itu masih tertunduk dalam diam. Lembah Ji’ranah serupa sedang diguyur musim dingin yang beku.
“Sesungguhnya, aku memberi bagian kepada beberapa orang yang baru saja memeluk Islam karena aku sengaja menjinakkan mereka di dalam Islam,” kata laki-laki agung itu memecah kesunyian. Kata-katanya kini bergetar penuh luapan kasih. “Apakah kalian tidak puas melihat orang lain pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Demi Zat yang diri Muhammad ada di tangan-Nya. Sekiranya bukan karena hijrah, tentu aku adalah salah seorang dari kaum Anshar. Sekiranya orang lain berjalan di suatu lembah dan lereng gunung, sedangkan kaum Anshar berjalan di lembah dan lereng gunung yang lain, niscaya aku menempuh jalan di lembah dan lereng gunung yang ditempuh kaum Anshar. Kalian itu bagaikan baju dalam, dan orang-orang yang lain itu bagaikan baju luar.”
Nabi kemudian mengangkat tangan mengucap do’a, “Ya Allah! Limpahkanlah rahmat-Mu kepada kaum Anshar, kepada anak-anak kaum Anshar, dan kepada cucu-cucu kaum Anshar!” Seketika itu pula, mata yang telah basah kini tak terbendung lagi. Air mata berhamburan membasahi pipi, berlelehan hingga janggut-janggut mereka. Mereka lalu berseru haru, “Kami telah rela mendapatkan Rasulullah sebagai bagian kami!" (NapakTilas)
Posted by Azhar Muhammad N.T ::
12:02 AM ::
0 Comments:
Post a Comment
---------------------------------------