Sunday, August 07, 2005
Sebuah Cerita Tentang Nasehat
Suasana di kamar tidur berukuran 4 x 4 meter itu agak lain dari biasanya. Sedikit berantakan, karena biasanya rapi. Meskipun penghuni kamar ini adalah dua orang lelaki, tak ada kesan tidak rapi atau tidak bersih. Ada sebuah travel bag berukuran sedang di sebelah ranjang. Di dalamnya belasan potong pakaian tertata rapi. Di sampingnya ada sebuah kardus berisi macam-macam barang. Andika menutup travel bagnya. Selesai sudah persiapannya, tinggal memesan taksi lalu berangkat ke bandara.
"Aku telpon taksinya dulu ya" Haris, teman sekamar Andika beranjak ke ruang tengah untuk memesan taksi.
Bagi seorang perantau seperti Andika, salah satu saat yang paling membahagiakan adalah ketika kembali ke kampung halaman. Ia akan kembali menghirup udara segar yang telah lama ditinggalkan. Ia akan mencium lagi bau tanah kampungnya yang tak pernah dilupakan. Ia akan bertemu dengan keluarga yang sangat dirindukan. Yang pasti ia akan meluapkan semua kerinduannya yang lama terpendam. Itu yang bisa Haris tangkap dari mata Andika.
Taksi yang telah dipesan perlahan meninggalkan asrama pekerja itu. Hanya lambaian tangan yang diberikan Andika pada Haris. Dia pun membalas lambaian itu sambil berkata dalam hati, kapan kiranya akan bertemu lagi dengan pemuda itu. Pemuda yang dua tahun terakhir ini hidup bersamanya di satu kamar dalam asrama pekerja itu. Pemuda yang selama masa itu telah bercerita banyak tentang kehidupannya pada Haris. Haris pun sebaliknya, dia juga sering curhat pada Andika.
Ada satu hal yang belum bisa dilupakan Haris, yaitu perihal Andika yang mengaku bahwa dalam lima tahun terakhir ini ia sangat membenci ibunya.
"Kenapa kamu sampai punya perasaan seperti itu?" Haris bertanya penuh rasa kaget bukan main.
"Ibuku telah mengkhianati bapak, aku, dan adik-adikku"
"Khianat bagaimana maksudmu?"
"Aku pernah mendapati ibuku berduaan dengan lelaki lain di kamar"
"Kamu tau ndak apa yang bikin aku lebih kecewa lagi?"
Haris menggeleng.
"Lelaki lain yang masuk kamar ibuku itu tak lain suami adik bapakku"
"Astaghfirullaah" Haris terhenyak.
"Sejak saat itu aku menyatakan perang sama ibu"
Haris menghela nafas panjang, ia mencoba mengerti dengan apa yang dirasakan Andika. Tapi di sisi lain ia juga menganggap bahwa sikap itu sangatlah tidak baik. Dia paham betul tingginya kedudukan seorang ibu dalam Islam. Jangankan membenci, berkata kotor saja dilarang oleh Allah Swt.
Itulah salah satu episode hidup Andika yang pernah ia tumpahkan pada Haris. Sebagai manusia biasa, Haris pun tak lepas dari problema hidup. Setelah Andika menumpahkan keluh kesah padanya, dia pun menceritakan masalahnya pada Andika. Mereka sering curhat setelah makan, atau sebelum tidur. Hingga akhirnya Andika juga paham dengan apa yang sedang dihadapi Haris saat ini. Haris merasa sangat berat menghadapi situasi kerja. Dari jam kerja yang sangat panjang, hingga perangai atasan yang semakin tidak menampakkan perubahan ke arah kebaikan.
Hingga saat-saat terakhir sebelum Andika pulang, ia dan Haris saling memberi nasehat.
"Mas, pindah ke tempat lain tidak menjamin Mas menemukan tempat kerja dan atasan yang sesuai dengan keinginan. Balik ke kampung juga bukan jalan yang terbaik. Sebab liku-liku berangkat bekerja di luar negeri sangat banyak dan kita telah merasakannya sendiri, yang sering membuat dada ini sakit. Jadi, satu-satunya cara adalah bersabar menghadapi kenyataan ini." Dalam hati Haris membenarkan juga apa yang diucapkan Andika barusan. Seberat apapun masalah, kalau mau dibuat ringan, kembalinya hanya pada kesabaran.
"Dik, seburuk apapun perbuatan ibumu itu, kamu jangan sampai tenggelam dalam kebencianmu itu selama-lamanya.Doakanlah kebaikan untuknya. Bagaimanapun juga beliaulah yang telah mengandung dan melahirkanmu ke dunia ini. Beliau juga yang telah merawatmu sejak kecil. Ketika sampai di rumah nanti, kamu cari beliau ya. Kalau ada yang perlu diluruskan, nasehatilah beliau dengan baik." Kini gantian Haris yang menasehati Andika. Demikianlah sebelum mereka berpisah hanya saling memberi nasehat saja, tak ada yang lain.
*****
Dua bulan berselang. Sore itu langit mendung, rintik air hujan perlahan membasahi jalanan di pusat kota Bandar Sri Begawan. Raut muka Haris sesaat menyiratkan rona bahagia. Andika mengirim email.
"Mas, aku sudah ketemu sama ibuku. Kami membicarakan beberapa hal, dan beliau menyetujui apa yang saya katakan. Saya juga sudah membayar zakat, dari hasil kerja di Brunei." Kalimat itu terasa indah bagi Haris. Andika menjalankan nasehatnya, dan kini ia menemukan kembali cintanya pada ibunya setelah lama larut dalam kebencian.
Namun sesaat kemudian Haris tertegun, karena nasehat Andika padanya belum bisa terlaksana sepenuhnya. Sabar memang tak semudah yang diucapkan, dan butuh kekuatan batin luar biasa. Namun nasehat Andika memberi tambahan semangat pada dirinya. Di sisi lain, Haris bersyukur karena paling tidak ada sedikit perintah Allah yang telah ditunaikan, yaitu saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran yang walaupun dibandingkan dengan apa yang telah dikerjakan orang lain, mungkin tidak ada apa-apanya.
(Diambil dari Eramuslim.com trus diubah dikit-dikit)
Posted by Azhar Muhammad N.T ::
2:22 PM ::
0 Comments:
Post a Comment
---------------------------------------