Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Mudahkan Hidupku, Hiasi Dengan Belai-Mu

Tuesday, November 25, 2008

4 Istri Dalam Kehidupanku

Seorang lelaki tua renta, sedang terbaring sakit di salah satu ruangan sebuah rumah sakit mewah. Ia dikelilingi oleh 4 orang istrinya. hari itu, si laki-laki ini hendak mengutarakan sebuah wasiat, sebelum pergi meninggalkan dunia.

Mungkin bermaksud untuk berbeda dengan orang lain, pak tua ini punya keinginan untuk ditemani oleh salah satu istrinya ke alam baka. Ia menanyakan kesediaan para istrinya, untuk menemaninya menghadap Tuhan.

Ia memulai keinginannya, dengan bertanya kepada istri keempat. "Wahai istriku yang cantik. Aku sudah tua. Sebentar lagi malaikat maut akan menjemputku. Aku ingin sekali ditemani ketika menghadap Tuhanku. Maukah kau ikut bersamaku?"

Dengan nada berang, si istri keempat, yang paling muda, paling cantik, paling banyak menghabiskan waktu dan energi pak tua di luar dan di dalam rumah, sekaligus juga paling banyak menghabiskan uang, mengatakan :

”Kalau bapak ingin pergi ke luar negeri, saya pasti ikut. Kalau bapak ingin ke pesta, saya pasti ikut. Tapi maaf saja. Kalau ke alam kematian, nanti dulu ah. Mati kok ngajak-ngajak! Pergi aja sendiri!”

Dengan hati bagai diiris sembilu, pak tua kemudian bertanya lagi pada istri yang ketiga. Ia bertanya dengan pertanyaan yang sama.

”Istriku yang ketiga. Sebentar lagi, malaikat maut akan menjemputku. Bersediakah kau untuk ikut bersamaku?”

Dengan suara yang lebih lembut, istri ketiga pak tua menjawab :

”Maafkan saya, pak. Saya hanya akan menemani bapak di sini saja. Begitu ajal menjemput bapak, sampai di situ lah tugas saya menemani bapak.”

Dengan hati yang semakin hancur, pak tua menoleh ke arah istri kedua.

”Bagaimana istriku yang kedua. Maukah kau menemaniku ke alam baka?”

Inilah kata-kata yang keluar dari mulut istri keduanya :

”Maafkan saya, suamiku tercinta. Aku akan menemanimu di sini, sampai ajal menjemput. Dan jika kau sudah meninggal, menjadi tugasku pula untuk mengantar jenazahmu ke tempat pemakaman. Setelah itu, selesai tugasku sebagai istri, dan aku akan melanjutkan kehidupanku sendiri.”

Tidak ada pilihan lain. Pak tua pun memalingkan wajahnya ke arah istri pertama. Tampak lah wajah yang sangat tua, penuh keriput dan sudah pudar kecantikannya. Inilah istri yang paling lama merasakan kesusahan bersamanya. Paling sedikit dapat nafkah lahir dan bathin. Paling sedikit dapat jatah uang tetapi paling sering jadi sasaran kemarahan.

”Bagaimana istri pertamaku? Ketiga istriku yang lain tidak bersedia menemaniku menghadap Tuhan. Alangkah hancurnya hatiku, jika kau pun tidak bersedia menemaniku. Rasanya, tidak berguna segala yang sudah kulakukan selama ini.”

Berbeda dengan tiga istri sebelumnya, istri pertama menjawab dengan santun dan lemah lembut.

”Kakanda. Apapun perlakuanmu padaku di hari-hari yang telah lalu, aku akan ikut bersamamu, kemana pun kau pergi.”

Melihat kenyataan ini, pak tua kemudian berkata, "Kalau saja kutahu sejak dulu bahwa engkau lah yang akan setia menemaniku ke mana pun aku pergi, engkau lah yang paling aku perhatikan. Engkau lah yang paling kuutamakan perawatannya, melebihi ketiga istriku yang lain. Kalau saja Tuhan mengizinkanku kembali ke masa muda, takkan kubiarkan engkau jadi tampak tua dan keriput seperti ini!"

Pembaca. Cerita di atas, bukanlah cerita sebenarnya. Cerita itu hanyalah cerita rekaan, yang saya tidak tahu asal-usulnya. Berbeda dengan hadits yang perlu ditelusuri sanadnya, saya merasa tidak perlu menelusuri siapa penulis pertamanya. Yang perlu saya lakukan adalah berdo’a untuk kebaikannya, karena saya memperoleh begitu banyak hikmah dari cerita ini. Cerita ini memiliki hikmah yang sangat dalam, terutama bagi saya dan mudah-mudahan juga bagi anda, yang ingin meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Setiap kita, punya 4 istri kehidupan.

Apa yang dalam cerita di atas disebut sebagai istri keempat, dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai harta dan tahta. Banyak manusia menghabiskan hampir seluruh waktu, tenaga dan pikirannya sepanjang hidup, untuk mendapatkan apa yang kita sebut sebagai harta dan tahta. Bahkan sebagian dari mereka, rela mengorbankan harga diri, kehormatan dan bahkan akidah, untuk mendapatkan harta yang banyak dan atau pangkat yang tinggi. Korupsi, menipu diri atau orang lain dan fenomena 'jilat atasan injak bawahan' adalah sedikit dari perilaku manusia pencari harta dan tahta. Sayangnya, di akhir kematian, harta dan tahta tidak akan dibawa mati. ketika anda hidup, anda boleh punya harta dan perhiasan berlimpah, rumah indah atau mobil mewah. Tapi di dalam kehidupan, belum pernah terjadi, ada mobil BMW ikut dikubur bersama pemiliknya. Belum pernah terjadi juga, sebuah apartemen dibongkar dan kemudian reruntuhannya ditanam bersama jasad pemiliknya. Bahkan pangkat dan jabatan seringkali sudah pergi ketika seseorang belum meninggal. Banyak pejabat yang kehilangan jabatan karena sakit yang terlalu lama.

Istri ketiga dalam cerita di atas adalah badan atau jasad kita. Badan kasar ini, juga banyak makan biaya. Harta hasil jerih payah, banyak digunakan untuk kepentingan badan kasar kita. Entah itu untuk konsumsi, membeli pakaian, kosmetik atau bahkan operasi plastik. Dan ketika seseorang meninggal, maka tugas jasad kasar yang dibiayai dengan harta yang banyak itu pun selesai. Tubuh yang diberi konsumsi makanan yang enak-enak, diberi pakaian indah, dilumuri kosmetik atau bahkan diubah bentuk supaya lebih menarik, sepertinya tidak ada gunanya karena cepat atau lambat harus jadi santapan cacing dan menyatu dengan tanah.

Istri kedua adalah orang-orang terdekat kita. Bisa suami, istri, anak, orang tua maupun sanak saudara. Manusia pun menghabiskan begitu banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk orang-orang terdekat mereka. Sayangnya, ketika seseorang harus meninggal, orrang-orang terdekat itu hanya mengantarnya sampai ke liang kubur. Seringkali terjadi, seseorang yang kaya-raya masih sakit keras dan belum meninggal, para ahli warisnya sudah ribut memperebutkan harta warisan. Teman-teman yang ketika ia masih hidup begitu akrab dan sayang, bisa jadi adalah orang-orang yang paling keras menginjak-injak tanah kuburannya. Usai dari pemakaman, mereka pun kembali mengurus kehidupan masing-masing.

Istri pertama, sekaligus istri paling setia (baik dalam cerita tadi maupun secara umum di dunia nyata), adalah jiwa kita. Jujur saja, kita menghabiskan waktu paling sedikit untuk mengurus jiwa kita. Dalam kehidupan, sadar atau tidak, kita lebih sering menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan energi kita untuk mencari tahta dan harta, menghabiskan harta untuk mengurus jasad kasar maupun memberikan kesenangan bagi orang-orang terdekat kita. Padahal, jiwalah yang selalu bersedia menemani kita dalam suka dan duka.

Pantaslah ketika pak tua sampai pada akhir usianya, ia menemukan sang jiwa dalam keadaan kurus, tampak tua dan penuh keriput. Boleh jadi, karena sepanjang hidupnya, ia hanya menyisakan sedikit perhatian untuk memberi makanan bagi sang jiwa. Badan ia berikan makanan berupa empat sehat lima sempurna. Badan dirawat dengan mandi spa dan operasi plastik.

JIwa kita, pada dasarnya juga membutuhkan makanan. Berbeda dengan jasad kasar, jiwa membutuhkan makanan yang menyehatkan dalam bentuk amal-amal kebajikan. Orang-orang yang hidup dengan amal kebajikan, adalah orang-orang yang selalu ditemani istri pertama yang sehat, muda, cantik dan bebas keriput.

Pembaca. Ada dua tipe istri pertama dalam kehidupan setiap orang. Istri pertama yang sehat, muda, cantik dan bebas keriput dan istri pertama yang tampak tua, kurus dan penuh keriput. Istri kehidupan macam apa yang anda inginkan? (warnaislam.com)


Posted by Azhar Muhammad N.T :: 6:59 AM :: 2 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------

Friday, October 03, 2008

Berani Mengaku

Syahdan, ketika Abu Sufyan masuk Islam, dia masih takut-takut bila keislamannya itu diketahui orang. Sehingga pada saat futuh makkah (pembebasan kota Mekkah) Nabi mengatakan bahwa yang berlindung di rumah Abu Sufyan akan selamat, dengan heran istrinya, Hindun, tidak tahu bahwa Abu Sufyan ternyata sudah Islam.

Ketika Amr bin Yasr hendak disiksa oleh majikannya, sang majikan menyuruh Bilal untuk memecut Amr. Tapi Bilal tidak mau dan membuang pecut itu. Barulah pada saat itu baik sang majikan maupun Amr, tahu bahwa ternyata Bilal sudah masuk Islam. Alih-alih mau menyiksa Amr, malahan sang majikan, Umayyah, ganti menyiksa Bilal dengan kejam. Bilal ditelanjangi dan ditelentangkan di padang pasir dengan ditindihi batu. Dengan begitu sang majikan berharap Bilal mau kembali kafir dan musyrik.

Didera siksaan yang sedemikian berat, dan juga berulang kali sang majikan membujuk untuk kafir kembali, Bilal tetap teguh dengan pendirian. "Ahad.. ahad..", itu yang selalu diucapkannya. Hatinya tetap dengan Allah, Tuhan Yang Satu, bukan tuhan-tuhan lain yang ada saat itu sampai 360 nama. Sementara yang diagung-agungkan ada 3 tuhan utama.

* * *
Saat Hamzah masuk Islam, malah unik. Adalah bukan niatnya di awal, untuk mengatakan bahwa dia telah masuk Islam. Sewaktu Hamzah melihat keponakannya, Muhammad SAW, sedang dipermalukan, dikepung, ditimpuki dan bahkan mau dibunuh di depan Ka'bah, Hamzah yang baru pulang dari berburu tiba-tiba muncul.

Orang-orang pada saat itu berharap banyak pada Hamzah, agar Hamzah mau menasehati atau bahkan ikut memukuli Muhammad SAW, supaya Muhammad SAW jera berdakwah. Abu Jahal (saat itu masih bernama Abul-Hakam) maju ke depan menyongsong Hamzah, mengadu tentang kelakuan Muhammad SAW, seraya hendak memukul Muhammad SAW dengan busur. Oleh Hamzah dicegah tangan itu dan malah dipukulkan balik ke Abul-Hakam. Hamzah memakinya dengan sebutan "Jahal", sehingga jadilah sejak saat itu namanya berubah dari Abul-Hakam (bapak bijak) menjadi Abu Jahal (bapak bodoh).

Hamzah lalu berteriak mengusir orang-orang yang berkerumun. Dia sesumbar bahwa dirinya sudah masuk Islam. Dan dia berkata bahwa barang siapa yang berani menyentuh keponakannya itu, maka akan dipenggal kepalanya.

Seorang Hamzah gituloh. Jagoan, preman, tidak ada yang berani melawan dia. Selain takut, mereka juga segan. Dan Hamzah konsekuen dengan keputusan mendadak itu, mengaku Islam. Sampai akhir hayatnya, Hamzah terus berjuang di garis depan membela kejayaan Islam.

* * *
Umar bin Khattab adalah satu dari dua orang yang sangat diharapkan Nabi SAW untuk masuk Islam. Mengapa? Karena kedua orang itu sama-sama 'preman'. Diharapkan dengan adanya salah satu dari mereka, akan memperkuat barisan umat yang saat itu kebanyakan orang-orang lemah. Dan Allah melunakkan hati Umar lewat peristiwa telah Islamnya adik kesayangannya. Umar juga sesumbar bahwa barang siapa yang berani protes kalau dia sudah Islam, maka akan dihajarnya habis-habisan. Atau, urusan nyawa bisa melayang.

Jadi..
Berani berbuat, berarti berani bertanggung jawab. Berani melangkah, berarti siap menanggung resikonya. Berani mengambil keputusan, berarti berani menanggung konsekuensi dari keputusan itu. Apapun itu, baik buruknya, maka keputusan itu pasti berakibat pada diri kita sebagai pelaksana.

Tidak mudah memang mengambil sebuah keputusan, apalagi bila keputusan itu bisa-bisa membuat nyawa melayang. Mending kalau kita saat mengambil keputusan itu dalam posisi yang kuat. Kalau posisinya lemah? Apa tidak malah jadi bulan-bulanan?

Bilal hanya seorang budak, sehingga majikannya bisa seenaknya mempermainkan dia. Tapi tidak dengan Hamzah atau Umar. Mereka punya kuasa untuk melawan. Seorang yang telah menjadi tokoh yang disegani, tiba-tiba berpindah agama, mendapat hidayah dan masuk Islam. Sebuah keputusan yang berisiko terjadinya pembunuhan karakter. Tapi bagi seorang Umar atau Hamzah, yang memang telah terkenal 'jagoan' dan telah mempunyai 'penggemar' sendiri, mereka tidak takut pamor akan turun. Mereka tidak takut bahwa citra mereka menjadi jelek, saat mengambil keputusan untuk berpindah.

Dan terbukti, ketika mereka masuk Islam, ketenaran dan kejayaan malah makin meningkat. Orang-orang yang tadinya tunduk pada mereka saat mereka masih belum Islam, akhirnya mengikuti jejak 'idolanya' dan masuk Islam pula.

Seharusnya, bisa kita contoh perilaku mereka itu. Jangan takut mengaku Islam. Jangan takut jikalau kita tampil dengan baju Islam. Allah tidak malah menyempitkan rizqiNya, hanya karena kita tampil sebagai pembela agamaNya.
Kan aneh, agama yang diridhoi oleh Allah itu Islam, tapi kita malah takut berwajah Islam, ya toh? (H. N. Dewantara – www.warnaislam.com)

Posted by Azhar Muhammad N.T :: 4:16 PM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------
Baju Barumu Berapa?

"Baju barumu berapa?" Pertanyaan yang lazim kita dengar di hari-hari menjelang lebaran, atau hari-hari terakhir bulan ramadhan. Lebaran identik dengan baju baru, dan hal-hal baru lainnya secara fisik.

Lebaran atau hari raya Idul Fitri kerap dimaknai terlahirnya diri orang-orang yang berpuasa selama sebulan penuh bagai sosok bayi yang masih suci dan bersih. Maka layaknya bayi yang baru lahir, segala pakaian yang melekat pun serba baru, mulai dari baju hingga sepatu. Serba baru ini seolah melambangkan hati yang bersih tanpa noda, tubuh yang bersih tanpa dosa setelah sebulan penuh digodok, digembleng dan dibakar. Hangus sudah seluruh dosa terbakar, punah sudah semua keliru dihempas ramadhan. Jadilah ia orang yang baru, benar-benar baru, berbeda dari sebelum ia memasuki bulan ramadhan.

Selayaknya bayi yang baru lahir pun, kita memulai hidup baru, menggores lembaran-lembaran baru dalam kehidupan. Setiap gerak dan langkah akan merwarnai kertas putih kehidupan, entah dengan warna apa kita memulainya. Warna terang benderangkah atau justru kita menorehkan warna kegelapan sehingga membuat pekat kembali kertas putih lembaran kehidupan kita yang baru itu.
Sayang seribu sayang jika demikian adanya. Kita telah berjuang penuh menjalani berbagai ujian selama bulan ramadhan, berharap di satu syawal berdiri sebagai orang-orang yang layak menggenggam predikat kemenangan, justru langkah berikutnya tidak terarah, bahkan cenderung salah.

Atau, jangan-jangan ada ujian yang tidak kita ikuti selama masa ujian bulan ramadhan? Sehingga sejujurnya kita tidak benar-benar terlahir sebagai orang baru di satu syawal? Mungkin ada nilai-nilai buruk dari serangkaian test yang diberikan Allah selama bulan itu? Atau ada soal-soal ujian yang kita benar-benar gagal dan tak mampu mengerjakannya? Dan karena itu, sebenarnya kita tak tergolong orang-orang yang lulus dalam ujian ramadhan?

Ibarat siswa sekolah dasar yang menempuh ujian untuk kelulusan, jika ia mendapat nilai baik sesuai standar kelulusan, maka ia akan dinyatakan lulus dan berhak menyandang predikat baru sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Nah, setelah menyandang status siswa SMP, ia pun berhak berganti pakaian, dari merah putih menjadi biru putih, sebagai bukti keberhasilannya.

Namun jika ia gagal dalam ujian, maka tak ada hak sedikit pun untuk menyandang gelar siswa SMP. Ia sepantasnya bersedih karena tidak lulus dan harus mengulang kelas terakhir hingga waktu ujian tiba kembali. Jika ada siswa SD yang tak lulus ujian, berhakkah ia masuk ke kelas SMP? Bolehkah ia mengenakan seragam biru putih seperti halnya teman-temannya yang lulus?

Kembali ke soal baju baru untuk lebaran, jika memang dianggap sebagai perlambang kemenangan usai menempuh ujian ramadhan, benarkah kita menjadi pemenang? Kalaulah dianggap sebagai perlambang kebahagiaan setelah berhasil melewati beragam test sepanjang ramadhan, coba cek kembali nilai-nilai test kita, sudah bagus semuanya? Kalau belum, kenapa tersenyum?

Kalau anak kecil yang bertanya, “berapa baju barumu” kepada teman sebayanya, itu lain soal. Tapi kalau orang dewasa yang di hari-hari terakhir ramadhan ini sudah sibuk memikirkan baju baru apa yang akan dikenakannya di hari lebaran, ups, nanti dulu, ujian masih berlangsung loh, belum tentu kita dinyatakan lulus. Ya kan?

Siap-siap punya baju baru sih boleh, tapi harus yakin dulu ujian ramadhan ini terselesaikan dengan baik. Sebab belum tentu tahun depan ketemu ramadhan lagi. Sepakat? (Gaw – www.warnaislam.com)

Posted by Azhar Muhammad N.T :: 3:58 PM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------
Berkaca Pada Para Nabi; Malu!

Memang saya tak setampan Nabi Yusuf alaihi salam, yang pesonanya membuat Zulaikha tergila-gila kepadanya dan belasan wanita cantik lainnya rela mengiris tangannya tanpa sadar lantaran tersihir keelokan wajah putra Ya’kub itu. Ketampanan Yusuf bukan semata fisik, melainkan cahaya di hatinya yang memancarkan kemuliaan. Bandingkan dengan diri ini, tak seujung kelingking pun ketampanan saya bisa menyaingi Nabi mulia itu.

Saya pun tak sesabar Nabi Ibrahim alaihi salam, berdakwah hingga usianya lebih seabad namun hanya sedikit pengikutnya. Yang bersabar hingga hari tuanya untuk bisa menimang putra tercinta Ismail. Coba lihat diri ini, sering tergesa-gesa tak sabaran.

Sosok ini pun tak setaat Ismail putra Ibrahim, yang ikhlas menjalankan perintah Allah meskipun harus disembelih oleh ayahnya sendiri. Bahkan Ismail tak bergeming saat setan menggodanya. Hmm, mudah sekali rasanya setan-setan menggoda diri ini. Mungkin karena saya belum benar-benar taat kepada-Nya.

Diri ini jelas-jelas tak setabah Nabi Ayub alaihi salam dalam menjalani cobaan dari Allah. Ayub yang bertahun-tahun diuji Allah dengan penyakit, tak sedikit pun mengeluh. Justru sebaliknya, ia merasa ujian itu adalah cara Allah mendekatinya. Sedangkan saya, baru kena flu saja sudah uring-uringan, bagaimana diberi penyakit yang lebih parah? Bisa-bisa jadi alasan untuk malas beribadah.

Saya juga tak sehebat Nabi Daud alaihi salam, yang meski bertubuh kecil sangat pemberani melawan Raja Jalut. Begitupun Nabi Musa alaihi salam yang tak gentar berhadapan dengan penguasa paling lalim sepanjang masa, Firaun. Ia berani mengungkapkan kebenaran dengan nyawa taruhannya. Duh, jika saya berada pada posisi seperti itu, sanggupkah? Bahkan menegur sahabat yang berbuat salah pun terasa berat lidah ini mencobanya. Ironisnya, saya sering bersembunyi, pura-pura buta setiap kali kemungkaran berlaku di depan mata ini.

Hati ini tak setegar Nabi Nuh alaihi salam yang tetap tersenyum mendapati ejekan dari kaumnya, termasuk isteri dan anaknya sendiri. Bahkan ketika air bah dating, Nuh tetap mengajak kaum yang sebelumnya tak henti mengejeknya sebagai orang gila. Andaikan saya yang diejek, emosi lah yang didahulukan. Kalau perlu saya menantang siapapun penghina itu untuk berkelahi, saling menumpahkan darah. Saya mudah marah, gampang tersulut emosinya, mudah terprovokasi, ah jauhlah dari sifat Nabi Nuh.

Akal pikiran ini tak secerdas Nabi Harun alaihi salam, yang karena kecerdasannya ia diperintah Allah menemani Musa menghadapi Firaun sekaligus menghadapi para pengikutnya. Kejernihan pikirannya, menjadikan ia teramat mudah mendapat hikmah dari Allah. Saya benar-benar iri kepada Nabi Harun yang tak pernah berhenti belajar. Berbeda dengan saya yang terkadang sudah merasa cukup pintar, sering berpikir bahwa diri ini sarat ilmu pengetahuan.

Saya benar-benar tak sebijak Nabi Sulaiman alaihi salam, dalam segala hal. Ia yang mampu mendengar suara semut yang ketakutan akan derap pasukan Sulaiman, bahkan sangat kasih terhadap makhluk yang sangat kecil itu. Karena kebijaksanaannya itulah, ia dicintai oleh segenap makhluk di bumi, dari bangsa manusia hingga jin, dari hewan di darat, udara sampai di dalam lautan. Sulit rasanya saya sekadar mencoba berlaku bijaksana dan adil. Saya masih egois, melihat untung rugi dalam berbuat, mengedepankan siapa yang dekat dengan saya dan siapa yang saya suka, bukan siapa yang benar dan berbuat kebaikan.

Nabi Isa alaihi salam mengajarkan tentang kelembutan hati. Tentang berbagi, membantu sesama, menolong orang tanpa pamrih, meringankan beban kaum dhuafa, menyediakan tangannya untuk orang-orang yang kesusahan, dan mengobati yang sakit. Hatinya selalu menangis melihat orang-orang yang menderita, dirinya selalu berada di sekeliling kaum dhuafa. Sedangkan saya, berkali-kali menyaksikan fenomena kemiskinan, kesusahan, penderitaan di berbagai tempat, tetap saja hati ini sekeras batu,.Tak gampang menangis jika bukan diri ini sendiri yang mengalami kesusahan.

Bagaimana dengan Rasulullah Muhammad Sallallaahu alaihi wassallaam? Sungguh, beliaulah teladan seluruh manusia. Tentang cinta, kasih sayang kepada sesama, urusan rumah tangga, kelembutan sikap, kemuliaan akhlak, tutur kata, persahabatan, persaudaraan, kepemimpinan, berwirausaha, seluruhnya sempurna. Tak cukup jutaan lembar kertas untuk menuliskan keindahan pribadinya, diperlukan samudera tinta guna melukiskan kemuliaan akhlaknya.

Tetapi saya? Tak berani menyebut satu saja keunggulan pribadi diri ini. Sebab, satu terbilang, maka seratus keburukan segera terucap. Andaikan saya setampan Yusuf, mungkin saya akan sombong dan tak bersyukur. Misalkan saya sepemberani Daud, belum tentu digunakan untuk membela kebenaran. Adapun saya pernah membantu seseorang, pamrih, ujub, riya pun mengiringi perbuatan itu.

Jangankan untuk meniru sifat para Nabi dan Rasul, mendekatinya pun tak mungkin. Jangankan menyamai pribadi mereka, mengikuti jejak para sahabatnya pun tak sanggup. Berkaca pada manusia-manusia pilihan-Mu ya Rabb, saya malu, teramat malu.

Jika demikian adanya, di pintu mana saya boleh mengetuk surga-Mu?
(gaw) > (http://www.warnaislam.com/)

Posted by Azhar Muhammad N.T :: 3:29 PM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------

Thursday, September 20, 2007

Guru Para Pemberani

Suatu pagi di kaki Gunung Uhud, 11 Syawal tahun ke-3 selepas hijrah. Di kejauhan sana, debu membubung tinggi memenuhi angkasa diiringi talu genderang perang yang ditabuh bersahutan. Tepuk-sorak membahana disela-sela wanita-wanita yang menari riang. Pasukan Quraisy Makkah telah datang lebih dulu dengan kekuatan 3000 pasukan terlatih bersenjata lengkap di tempat ini. Tujuh ratus diantaranya berbaju besi, dua ratus orang menunggang kuda, dan sisanya menunggang unta. Tempat-tempat strategis telah mereka kuasai.

Pasukan muslimin tinggal mendapatkan sisanya. Sebuah ruang di kaki gunung dengan jalan lebar membentang di belakangnya, jalan empuk bagi musuh menyerang dari belakang. Setelah 300 pasukan Abdullah bin Ubay lebih dulu meninggalkan mereka di Syawath dan kembali ke Madinah, maka lengkaplah sudah kondisi pasukan yang mengikuti Nabi ke tempat ini. Tujuh ratus orang tersisa, peralatan seadanya, dan sebagian besar diantaranya tak terbiasa berperang. Seorang anggota pasukan Quraisy maju menunggang untanya ke tengah medan pertempuran. Pedang di tangannya terhunus berkilat-kilat diterpa cahaya matahari seperti haus darah mangsanya.

“Siapa yang akan maju berperang tanding?” tanyanya pongah ke arah barisan kaum muslimin.

Zubair bin Awwam meringsek maju di atas untanya. Perang tanding pun berlangsung seru hingga keduanya terpental dari untanya. Zubair terjatuh di atas musuhnya. Dan dengan sekali tebas, maka terbunuhlah orang musyrik itu.

Nabi pun bersabda, “Bagi setiap nabi tentu ada pembantunya. Dan pembantuku adalah Zubair”

Kini maju seorang pasukan Quraisy bernama Thalhah. Ia pun sesumbar, “Siapa kini yang akan berperang tanding denganku?” Pasukan muslimin bergeming.

“Hai pengikut Muhammad! Kalian telah menyangka Tuhan mempercepat kami dengan pedangmu ke neraka dan mempercepat kalian dengan pedang kami ke syurga?” Thalhah berteriak beberapa kali menantang.

”Sungguh kalian berdusta, demi Latta dan Uzza! Kalau kalian tahu betul-betul begitu, keluarlah seorang dari kalian sekarang!”

Seketika keluarlah dari barisan muslimin Ali bin Abi Thalib. Keduanya lantas berperang-tanding dengan sengit. Pada suatu kesempatan, menantu Nabi itu berhasil membabat kaki Thalhah dan jatuhlah orang itu dengan kaki terputus. Tampaklah kemaluannya! Ali segera meninggalkannya meski orang itu belum mati.

“Apa yang melarang kamu membunuhnya, wahai Ali?” seru Nabi.

“Karena dia menampakkan kemaluannya padaku, ya Rasulullah! Aku kasihan kepadanya”

“Bunuhlah!”

Ali pun kembali ke medan pertempuran dan menyelesaikan tugasnya. Sorak-sorai takbir membahana dari barisan kaum muslimin. Pasukan Quraisy kemudian mengeluarkan prajurit terbaiknya. Utsman bin Abi Thalhah. Keluarlah Hamzah bin Abdul Muthalib dari pasukan muslimin. Hamzah pun berhasil membunuh Utsman. Kaum musyrikin mengeluarkan lagi prajuritnya, Abu Sa’id bin Abi Thalhah. Keluar pula Sa’ad bin Abi Waqqash dari kaum muslimin. Sa’ad pun berhasil membungkam Abu Sa’id dalam perang tanding itu.

Keluarlah Musafi bin Thalhah dari kaum musyrikin. Ashim bin Tsabit maju dari barisan kaum muslimin untuk menghadapinya. Dalam duel itu, Musafi tewas di tangan Ashim. Harts bin Thalhah, saudara Musafi, keluar menantang Ashim. Ashim kembali ke arena dan terbunuhlah Harts di tangannya.

Kilab bin Thalhah kini maju dari barisan kaum musyrikin. Untuk menghadapi, kaum muslimin mengeluarkan Zubair untuk kedua kalinya. Zubair pun berhasil membunuh Kilab. Pasukan musyrikin lalu mengeluarkan Jallas bin bin Thalhah, saudara Musafi, Harts, dan Kilab. Kaum muslimin mengeluarkan Thalhah bin Ubaidillah. Dalam perang tanding itu, Jallas terbunuh oleh pedang Thalhah.

Kaum musyrikin belum puas. Mereka mengeluarkan seorang yang gagah perkasa bernama Arthah bin Surahbil. Kaum muslimin mengeluarkan Ali bin Abi Thalib untuk kedua kalinya. Keduanya bertanding sama-sama kuatnya. Hingga akhirnya, setelah melalui duel yang keras, Ali berhasil membunuh Arthah.

Seorang lagi keluar dari barisan kaum musyrikin. Suraih bin Qaridh. Hamzah keluar kedua kalinya untuk menghadapinya. Dan tewaslah Suraih di tangan Hamzah. Mereka masih menantang juga dengan keluarnya Abu Zaid bin Amr. Qasman dari kaum muslimin maju menghadapinya. Abu Zaid pun dikalahkan oleh Qasman.

Quraisy kembali mengeluarkan jagonya. Kini anak Surahbil, saudara Arthah yang telah dibunuh Ali, keluar dari barisan kaum musyrikin. Qasman kembali menghadapinya. Dan terbunuhlah anak Surahbil itu di tangannya.

Belum puas juga, Quraisy mengeluarkan Shu’ab dari Habsyi. Qasman kembali menghadapi Shu’ab. Qasman, untuk ketiga kalinya, bisa membunuh musuhnya di medan perang tanding. Setelah itu, kaum Quraisy tak mengeluarkan lagi seorang jagonya untuk berperang tanding. Peperangan kedua pasukan belum juga mulai. Tetapi, kaum Quraisy sudah kehilangan 12 orang anggota pasukan terbaiknya. Dan tak seorangpun terbunuh dari kaum muslimin.
*****
Ketika sebuah pasukan kecil yang tak semuanya terlatih dengan penuh kesadaran datang ke sebuah tempat yang tak menguntungkan untuk berhadapan dengan sebuah pasukan yang empat kali lipat lebih banyak, lebih besar, lebih lengkap persenjataannya, dan sebagian besar diantaranya jago berperang, apa yang dimiliki oleh pasukan kecil itu? Jawabnya adalah sebuah “keberanian” yang tiada tara.

Apakah “keberanian” itu? Ketika menghadapi orang yang lebih lemah, pasukan yang lebih kecil, ataupun situasi yang sangat mudah dan dapat diduga, apakah diperlukan sebuah keberanian? Mungkin tak perlu, karena keberanian adalah sebuah sikap yang tidak memiliki rasa takut ketika menghadapi sesuatu yang berbahaya, lebih sukar, dan tak bisa ditebak. Keberanian bisa tumbuh karena banyak hal. Namun apapun alasannya, konsekuensi sebuah keberanian adalah adanya suatu resiko yang harus dibayar. Boleh jadi berupa hilangnya jabatan, kekayaan, kesempatan, juga rasa sakit, atau bahkan hilangnya nyawa, dan inilah keberanian yang paling puncak itu.

Tidaklah seseorang bisa memiliki keberanian yang paling puncak itu kecuali pasti ia telah ditempa oleh sebuah didikan yang maha hebat untuk bisa sampai pada pencapaian itu. Sebuah didikan yang menjadikan “menang” dan “mati” sebagai dua motivasi paling dominan. Bahwa Allah pasti akan memberikan “kemenangan” kepada orang-orang yang beriman atas musuh-musuhnya. Dan bahwasannya “mati” justru menjadi sesuatu yang bahkan sangat dicari dan dirindukan (syahid). Bagaimanapun, mati seperti ini adalah sebuah “kemenangan” pula, meski dalam bentuk yang lain.

Inilah yang menyebabkan pasukan muslimin itu memiliki keberanian yang luar biasa untuk menghadapi pasukan yang lebih besar dibanding pertempuran mereka di Badar setahun sebelumnya. Dan hanya berbekal keberanian puncak itulah Zubair, Ali, Hamzah, Sa’ad, Ashim, Thalhah, Qasman maju ke arena dan menyelesaikan perang tandingnya.

Jika mereka saja mampu menjadi pasukan pemberani seperti itu, apalagi gurunya, Rasulullah SAW. Perang Uhud ini pun sempat menjadi saksi akan keberanian itu.
***
Akibat teledornya regu pemanah, pasukan muslimin dibuat kocar-kacir oleh pasukan berkuda Khalid bin Walid. Nabi terluka di beberapa bagian mukanya yang mulia. Dahi, pipi, bibir bawah. Sebagian gigi sang kinasih itu pun pecah dan menusuk daging bibirnya. Bahkan dua potong besi menembus gusinya. Wajahnya berlumur darah.

Dalam keadaan demikian, datanglah Ubay bin Khalaf. Ia berbaju besi lengkap dan memacu kudanya dengan kencang ke arah Nabi dengan pedang di tangan. Ia lalu meloncat dari kudanya hendak menyerang lelaki mulia itu. Seorang sahabat segera menghadangnya. Namun, ia terbunuh oleh pedang Ubay yang menyerang ganas.

“Mana orang yang mendakwahkan dirinya nabi itu? Hendaklah ia melawanku!” serunya sombong dengan pedang berlumur darah di tangan.

”Jika ia benar-benar seorang nabi, tentu aku dibunuh olehnya. Ayo majulah melawanku!”

Ia terus meringsek maju ke arah Nabi yang dijaga ketat oleh sekalian sahabat yang tersisa.

”Mana Muhammad!” Ia mengacung-acungkan pedangnya.

”Aku tidak selamat kalau kamu selamat! Aku tidak selamat kalau kamu selamat!”

Mendengar seruan Ubay, lelaki mulia itu pun menyuruh para sahabatnya untuk minggir. Tersibaklah pagar betis para sahabat. Ia kini berdiri tanpa pendamping, tegak di tempatnya seperti gunung Uhud, dan dengan tenang menunggu serangan Ubay. Di tangannya tergenggam tombak milik Harits ibnu Shammah. Pada mukanya darah segar masih tampak menetes-netes.

Ubay nyalang! Ia segera menghambur ke arah lelaki itu dengan pedang teracung. Membunuh Muhammad dan membungkam dakwahnya untuk selamanya, adalah tujuan utamanya datang ke medan perang ini. Dan kesempatan itu agaknya sudah ada di depan matanya. Tetapi belum lagi ia menyadari, lelaki mulia itu tiba-tiba mengayunkan tombak di tangannya. Keras! Deras! Dan senjata berujung runcing itu menembus satu-satunya celah terbuka antara baju besi dan topi besi Ubay. Menusuknya tepat di leher.

Laki-laki itu pun jatuh tersungkur dari kudanya. Pedang terlepas dari tangannya. Ia lalu berusaha bangkit dengan susah-payah, tertatih menunggang kudanya kembali, lalu lari terbirit-birit dengan luka menganga di lehernya. (bahtiarhs.multiply.com)

Posted by Azhar Muhammad N.T :: 7:16 PM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------

Monday, September 03, 2007

Pulang Membawa Kekasih

Lembah Hunain kembali menjadi saksi bahwa jumlah yang besar seringkali tak lebih dari sekawanan keledai yang kurang gizi. Pagi itu, pasukan gabungan dari Bani Tsaqif, Hawazin, Jusyam, Bakar, dan Hilal semburat lari seperti debu tertiup badai padang pasir siang hari. Sorak-sorai kesombongan 20 ribu anggota pasukan mereka lenyap dalam beberapa jam setelah berhasil dibungkam oleh pasukan muslimin yang hanya 12 ribu orang.

Kini dunia yang menyilaukan tampak di depan mata kaum muslimin: ghanimah yang besar, serupa manna dan salwa yang diturunkan dari langit untuk Bani Israil. Tak kurang 24 ribu ekor unta, 40 ribu ekor kambing, 4 ribu uqiyah perak berhasil dirampas. Juga tawanan 6 ribu personel, laki-laki dan perempuan. Mereka kemudian dikumpulkan di lembah Ji’ranah.

Inilah yang kemudian dilakukan Nabi. Beliau memberi bagian Abu Sufyan bin Harb, dedengkot Quraisy itu, 100 ekor unta dan 40 uqiyah perak. Kedua anaknya, Yazid dan Mu’awiyah diberikan bagian yang sama dengan ayahnya. Nabi juga memberikan 100 ekor unta kepada beberapa orang Quraisy termasuk Hakim bin Hizam, Nushair bin Harits, Harits bin Hizam, dan Shafwan bin Umayyah. Sebagian lainnya diberi bagian kurang dari 100 ekor unta. Di luar itu, setiap anggota pasukan berjalan kaki mendapat 4 ekor unta dan 40 ekor kambing dan anggota pasukan berkuda mendapat 12 ekor unta dan 120 ekor kambing. Terlihatlah bahwa orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam setelah fathul Ma’kah mendapatkan bagian yang lebih banyak, bahkan istimewa, dibanding mereka yang telah lama masuk Islam

“Ya Muhammad!” kata seorang dekil yang tiba-tiba datang kepada Nabi. “Takutlah olehmu kepada Allah! Aku telah melihat apa yang telah engkau perbuat hari ini!”

Nabi bertanya, “Baik! Bagaimana yang kamu lihat, wahai Kisanak?”Orang itu menjawab, “Aku tidak melihat keadilan engkau!”

Wajah lelaki agung itu memerah. Beliau bersabda, “Apabila keadilan tidak ada padaku, lantas pada siapa adanya?”

“Ya Rasulullah!” Umar bin Khattab yang melihat peristiwa itu seketika menyela. “Tidakkah aku lebih baik membunuh orang ini?”

*****

Rupanya ada yang tertinggal dalam pembagian ghanimah itu. Kaum Anshar. Tak seorang pun mendapatkan bagian istimewa sebagaimana orang Quraisy yang baru masuk Islam. Bisik-bisik muncul diantara mereka. Agak sinis, bahkan, dan menjalar seperti api dalam setumpukan jerami yang kering. “Sekarang, Rasulullah telah berjumpa dengan kaumnya.”

Sa’ad bin Ubadah tak kuat mendengar ungkapan perasaan kurang baik terhadap Nabi itu. Maka ia pun menyampaikannya kepada Nabi SAW. “Engkau telah membagikan kepada kaum engkau sendiri dan kabilah Arab lainnya dengan pembagian yang banyak. Sedangkan golongan Anshar tidak mendapatkan bagian sedikitpun.”

Wajah Nabi kembali memerah. “Kumpulkanlah kaummu kepadaku, wahai Sa’ad, di tempat perkemahan ini!”

Sa’ad lalu segera mengumpulkan orang-orang Anshar di tempat itu.

“Barangsiapa ada di sini selain Anshar, hendaklah ia kembali ke tempatnya!” kata Nabi membuka percakapan. Sejenak kemudian beliau bertanya, “Wahai kaum Anshar! Apakah desas-desus yang telah sampai kepadaku adalah perasaan yang kalian rasakan terhadapku?”

“Ya Rasulullah,” jawab seorang diantara mereka. “Para ketua kami tidaklah mengatakan apa-apa. Orang-orang muda kamilah yang telah berkata ‘Mudah-mudahan Allah memberi ampunan kepada Rasul-Nya, karena telah memberi bagian kepada kaum Quraisy dan tidak kepada kami. Padahal, pedang-pedang kamilah yang meneteskan darah-darah mereka.’”

Rasulullah lalu bersabda, “Wahai orang-orang Anshar! Bukankah ketika aku datang, kalian masih dalam kesesatan, kemudian Allah memberikan hidayah kepada kalian karena aku? Bukankah ketika itu kalian masih menderita, kemudian Allah mencukupi kalian karena aku? Bukankah kalian ketika itu masih saling bermusuhan, kemudian Allah mempersatukan hati kalian karena aku?”

Wajah-wajah itu pun menunduk. Tatapan mereka jatuh ke tanah. Kemudian seorang menjawab, “Benar, ya Rasulullah! Allah dan Rasul-Nya amat murah dan mengaruniai. Karena itu, kami telah dengan rela dan tulus kepada Allah sebagai rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi. Berbuatlah apa yang menjadi kehendak engkau, ya Rasulullah, karena engkaulah dalam kehalalan!”

*****

Sikap reaktif adalah sikap seseorang yang gagal membuat pilihan respon pada saat mendapatkan rangsangan (stimulus). Jika Anda selalu marah kalau dicemooh, maka Anda termasuk reaktif, karena selalu memberikan respon yang sama terhadap suatu rangsangan. Binatang secara umum adalah makhluk yang reaktif. Kalau dipukul, reaksinya hanya dua: takut atau marah. Coba saja Anda pukul seekor anjing yang melintas. Kalau ia tidak lari, maka Andalah yang akan lari.

Berbeda dengan reaktif, menurut Covey, proaktif adalah kemampuan seseorang untuk memilih respon. Sikap proaktif adalah sikap seseorang yang mampu membuat pilihan dikala mendapatkan rangsangan. Seseorang yang bersikap proaktif mampu memberi jeda antara datangnya rangsangan dengan keputusan untuk memberi respon. Pada saat jeda tersebut seseorang yang proaktif dapat membuat pilihan dan mengambil respon yang dipandang terbaik bagi dirinya.

Bila dibandingkan dengan binatang yang senantiasa reaktif, manusia bisa bersikap proaktif. Saat dipukul, manusia reaksinya bisa lebih beragam. Ia memang bisa marah. Tetapi, boleh jadi ia akan diam atau justru tersenyum (jika dipukul mesra pasangan misalnya). Manusia punya kendali untuk memilih respon terhadap rangsangan tertentu.

Sikap proaktif sangat berguna bagi manusia terutama dalam menghadapi masalah maupun dalam berinteraksi dengan manusia lain. Sikap proaktif menunjukkan tingkat kecerdasan emosi (EQ) yang tinggi. Permasalahannya adalah tidak banyak orang bisa memilih respon terbaik terhadap sebuah masalah. Apalagi jika itu berhubungan dengan dunia dan keduniaan. Bagaimanapun cinta dunia adalah penyakit yang diderita hampir setiap orang.

Ketika orang Quraisy, apalagi yang baru masuk Islam, mendapatkan bagian ghanimah Hunain yang lebih besar dari mereka, kaum Anshar langsung bereaksi. Mereka merasa lebih berhak mendapatkan bagian yang lebih besar ketimbang para muallaf itu — apalagi beberapa diantaranya sangat memusuhi Islam di masa awal seperti Abu Sufyan bin Harb. Namun, bagaimanapun, ini adalah reaksi yang wajar.

Rasulullah tak membiarkan sikap reaktif yang salah ini terus berlangsung. Dan rupanya, orang-orang Anshar yang dididik langsung di bawah tarbiyah Rasulullah SAW telah memilih pilihan yang lebih baik ketimbang ghanimah. Mereka telah memilih sikap proaktif jauh sebelum Covey 14 abad kemudian menulis bukunya.

*****

Wajah-wajah di perkemahan itu masih tertunduk dalam diam. Lembah Ji’ranah serupa sedang diguyur musim dingin yang beku.

“Sesungguhnya, aku memberi bagian kepada beberapa orang yang baru saja memeluk Islam karena aku sengaja menjinakkan mereka di dalam Islam,” kata laki-laki agung itu memecah kesunyian. Kata-katanya kini bergetar penuh luapan kasih. “Apakah kalian tidak puas melihat orang lain pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Demi Zat yang diri Muhammad ada di tangan-Nya. Sekiranya bukan karena hijrah, tentu aku adalah salah seorang dari kaum Anshar. Sekiranya orang lain berjalan di suatu lembah dan lereng gunung, sedangkan kaum Anshar berjalan di lembah dan lereng gunung yang lain, niscaya aku menempuh jalan di lembah dan lereng gunung yang ditempuh kaum Anshar. Kalian itu bagaikan baju dalam, dan orang-orang yang lain itu bagaikan baju luar.”

Nabi kemudian mengangkat tangan mengucap do’a, “Ya Allah! Limpahkanlah rahmat-Mu kepada kaum Anshar, kepada anak-anak kaum Anshar, dan kepada cucu-cucu kaum Anshar!” Seketika itu pula, mata yang telah basah kini tak terbendung lagi. Air mata berhamburan membasahi pipi, berlelehan hingga janggut-janggut mereka. Mereka lalu berseru haru, “Kami telah rela mendapatkan Rasulullah sebagai bagian kami!" (NapakTilas)


Posted by Azhar Muhammad N.T :: 12:02 AM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------

Thursday, August 30, 2007

Cinta Yang Tak Bertepi

Kabut pasir, hujan batu kerikil, juga caci-maki. Anak-anak, hamba sahaya, juga tetangga keluarga Amr bin Umair bin Auf ats-Tsaqafi berhamburan keluar rumah. Berbaris, berjajar di sepanjang jalan dari rumah penguasa kota Thaif itu. Batu kerikil di tangan. Pasir berguguran dalam genggaman. Mulut-mulut berteriak penuh cacian. Mereka seperti berlomba melempar.

Dua orang lelaki tak berdaya tertatih di bawah hujan batu, kerikil, dan pasir serupa terseret di dalam badai gurun sahara yang terik. Mereka mengarahkan batu-batu itu ke kaki Nabi SAW. Kedua kakinya luka menganga, berdarah-darah. Manusia yang mulia itu bahkan sampai harus berjalan merangkak-rangkak menahan sakit. Zaid bin Haritsah yang menyertainya pun tak luput dari sasaran. Kepalanya luka parah berkucur darah terkena lemparan batu. Sementara kerikil, batu, dan pasir tak henti beterbangan dari tangan-tangan keluarga Bani Tsaqif itu.

Caci-maki dan ejekan terus berlangsung hingga kedua lelaki itu sampai di sebuah kebun di luar kota. Mereka pun bubar. Nabi SAW dan Zaid lalu berteduh di tempat itu. Menunggu luka terhenti dan mengering, barang sesaat. Demi mengetahui kalau kebun itu milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah yang juga memusuhi beliau di Mekah, Rasul pun mengadu.

“Ya Allah, kepada Engkaulah aku mengadukan kelemahan kekuatanku dan sedikitnya daya upayaku dan kehinaan bagi manusia. Ya Tuhan Yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang berkasih sayang”

***

Abu Thalib baru saja wafat. Hanya berselang hari, Khadijah yang amat dicintainya pun pergi untuk selamanya dari sisinya. Lelaki itu telah kehilangan dua orang yang amat dikasihinya dalam waktu yang hampir bersamaan, serupa kehilangan kaki untuk melangkah sekaligus punggung buat bersandar. Ia memang seorang Nabi. Tetapi ia pun seorang manusia biasa. Kehilangan dua orang yang amat dikasihinya dan selama ini menjadi tulang-punggung dakwahnya tentu merupakan pukulan yang berat. Tidak ada dukacita yang lebih besar beliau rasakan sejak bertemu Jibril di Gua Hira kecuali saat itu.

Tekanan Quraisy pun menjadi. Cercaan, hinaan, dan perlakuan menyakitkan dari mereka siang malam terus diterimanya tanpa henti. Nabi lalu pergi secara diam-diam ke Bani Tsaqif di Thaif untuk mengobati dukanya ini. Semula beliau membawa harapan yang besar, mengingat pemuka mereka masih keluarga dekatnya. Tetapi apa yang kemudian dialaminya bersama Zaid sungguh jauh panggang dari api. Alih-alih mengharap pelita segera terpetik di daerah sebelah tenggara Mekah yang subur itu, justru yang beliau terima adalah hujan batu dan sumpah-serapah.

***

Ketika keduanya selesai beristirahat di kebun itu dan kemudian meneruskan perjalanan kembali ke Mekah, datanglah malaikat Jibril diiringi malaikat penjaga gunung.

“Ya Rasulullah” kata Jibril. “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu dan penolakan mereka kepadamu. Dia telah mengutus malaikat penjaga gunung supaya engkau perintahkan kepadanya apa yang engkau kehendaki atas kaum Bani Tsaqif itu.”

“Ya Rasulullah” sahut malaikat penjaga gunung. “Jika engkau mau supaya aku melipatkan kedua gunung yang besar ini di atas mereka, niscaya akan aku lakukan.”

Gunung Abu Qubais dan Qa’aiqa’an tampak kokoh berhadapan di kejauhan bak dua raksasa yang berdiri diantara Mekah dan Thaif. Melemparkan keduanya ke atas perkampungan Bani Tsaqif akan serupa hujan batu atas kaum Sadum ketika mendustakan Nabi Luth as.

“Tidak Jibril!” jawab Nabi tegas. “Bahkan aku berharap mudah-mudahan Allah memberikan kepada mereka keturunan yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”

***

Serupa apakah cinta sejati itu? Mungkin cinta jika cuma terkatakan hanyalah berarti setengah cinta atau cinta setengah. Kalau tidak malah jadi cinta setengah-setengah. Sebagian besar cinta boleh jadi justru mengejawantah pada selain indahnya kata. Pada senyum yang tulus, mata yang teduh, tangan yang terulur, bahu yang memikul, kaki yang bergerak ringan, hingga dekap erat-hangat.

Cinta juga terlihat pada kesediaan berbagi, menjalani, dan berkorban apa saja demi sesuatu atau seseorang yang dicinta. Dan barangkali cinta mencapai puncaknya ketika seseorang mau bertaruh nyawa untuk sang kekasih, berkorban hingga tetes darah terakhir demi yang dicinta.

Bagaimana halnya jika seseorang merelakan dirinya terluka oleh yang dicinta dan tak pernah mau memendam dendam untuk suatu saat menuntut balas jika berkesempatan? Boleh jadi inilah cinta sejati. Itulah cinta yang nyaris tak bertepi.

Rasulullah SAW adalah sosok pribadi dengan cinta yang nyaris tak bertepi itu. Batu kerikil yang beterbangan menyayat luka di kulit, darah yang mengalir diiringi sakit, juga cacian, hinaan, ejekan, dan sumpah-serapah yang diterimanya pada peristiwa di Thaif rasanya sudah lebih dari cukup untuk tidak pernah dimaafkan. Kalau perlu dituntut balas dengan sepadan perih.

Ia memang manusia biasa. Tetapi bagaimanapun, ia bukanlah manusia biasa seperti kita. Kecintaan pada yang dicintanya sungguh tiada berbatas. Dan yang amat dicintanya itu tidak lain adalah kaum kepada siapa beliau diutus, termasuk kita. Cinta itu ditunjukkannya nyaris pada sepanjang hayat. Bahkan ketika saat-saat terakhir menjelang beliau pergi, bagian dari yang disebut bibirnya yang mulia adalah ummati, ummati. Umatku, umatku. Sungguh cinta kepada umatnya dibawanya hingga tarikan nafas terakhir.

Begitu pulalah yang terjadi di jalan antara Thaif dan Mekah itu. Ketika kedua malaikat menawarkan diri melempar kaum Tsaqif dengan dua gunung sebagai bentuk balasan atas penghinaan itu, Rasulullah hanya menggeleng. Meski kaumnya memusuhinya begitu rupa, cintanya kepada mereka sudah terlanjur tak bertepi.

***

“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan supaya aku menuruti keinginanmu terhadap kaummu Ya Rasulullah, karena perbuatan mereka kepadamu.” sambung Jibril demi mendengar jawaban Nabi, “

Lemparan batu, kerikil dan pasir masih membekas di tubuhnya yang mulia. Peristiwa penghinaan itu masih sangat segar di ingatan. Bahkan luka di kedua kaki beliau belum juga mengering. Tetapi beliau justru memanjat doa.

“Ya Allah, tunjukkanlah (jalan yang lurus) kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengerti.”

Jibril dan malaikat penjaga gunung kemudian sama-sama berkata, “Maha benar Tuhan yang telah menamakan dirimu pengasih serta penyayang” (NapakTilas)

Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku.

Jika cinta memelukmu, maka dekaplah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu (Kahlil Gibran)


Posted by Azhar Muhammad N.T :: 8:41 AM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------

Wednesday, August 29, 2007

Yang Telah Tunai Terbeli

Pasukan muslimin telah bersiap di dusun Dzi Amarra pada suatu hari ketika langit bulan Rabiul Awwal selepas Perang Badar tiba. Empat ratus lima puluh orang dengan senjata di tangan berdiri tegap siap tempur. Syahid yang selalu hendak diraih serupa sudah di depan mata.

Lelaki kinasih itu kemudian mengatur barisan serapi-rapinya laksana tegak dalam shaf salat. Demi mengetahui hal itu, Bani Muharib dan Bani Tsa’labah yang telah berpadu hendak memadamkan terang cahaya Madinah pun seketika lari terbirit ke atas gunung. Tak dinyana begitu cepat pasukan muslimin itu datang ke dusun mereka. Tak mencari hidup, justru menyongsong mati. Namun, hujan lebat tiba-tiba turun bagai dimuntahkan dari langit. Deras mengguyur bumi. Meningkahi setiap jengkal tanah, juga helai daun-daun. Bumi yang kering seketika basah. Debu yang melayang-layang seketika hilang. Bau tanah pun telah berubah menjadi lembab. Dan lelaki itu beserta pasukannya pun basah kuyup.

Tatkala hujan reda, mereka kemudian sibuk menjemur pakaian masing-masing. Lelaki itu menjemur pula pakaiannya sembari berbaring di bawah sebatang pohon. Seorang diri, dan tak seorang anggota pasukan pun menyadari ketika sebuah bayangan bergerak ke arah lelaki itu. Seseorang telah menyamar mendekati tempat berbaringnya dari arah belakang, diam-diam. Beringsut mendekat dan semakin dekat. Sebilah pedang tajam pun telah terhunus mengkilat. Secepat kilat, pedang yang telah terlepas dari sarungnya itu kini teracung ke arah kepala lelaki yang sedang terbaring itu.

“Siapakah yang akan menghalangi engkau dariku hari ini, hai Muhammad?” gertak sosok bayangan itu penuh kesombongan. Orang yang selama ini ditakutinya itu, kini hanya berjarak sejengkal saja dari ujung pedangnya. Dunia serasa ada di dalam genggamannya. Hanya dengan sekali tebas, maka pasti robohlah lelaki itu. Dan namanya segera terkenal di seantero jazirah Arab. Du’tsur telah membunuh Muhammad!

“Allah!” jawab lelaki itu dengan jelas dan tenang. Tak ada sepotong ketakutan pun pada rona wajahnya. Tak ada kepanikan tersirat pada gerak tubuhnya. Energi yang begitu besar seperti mengelilingi dirinya. Melindungi dirinya. Begitu rupa.

Du’tsur seketika terperanjat. Seluruh sendi tubuhnya bergetar hebat demi mendengar jawaban yang hanya sepatah kata itu. Allah! Hanya sepatah kata, yang tak pernah terbayangkan bakal keluar dari mulut lelaki yang nasibnya sudah ada dalam genggamannya itu. Tangannya langsung gemetar dan lunglai. Pedangnya memberat serupa gunung Uhud telah diletakkan di ujungnya. Senjata itu pun kemudian jatuh terkulai ke tanah.

Lelaki kinasih itu pun secepat kilat bangkit, mengambil pedang Du’tsur yang tergolek di atas tanah, dan kini mengacungkannya balik ke arah tuannya sendiri. Pedang itu berkilat hanya sejengkal dari kulit wajahnya. Dengan sekali tebas, kepalanya tentu akan segera menggelinding di tanah yang basah.

“Siapakah kini yang akan melindungi engkau dariku, hai kisanak?” lelaki itu kini ganti bertanya padanya. Du’tsur merasa riwayatnya seketika usai. Kini ia bergetar sangat hebat bagai diguncang hujan badai. Wajahnya pun berubah pasi seputih kapas di musim panas yang terik. Maut serasa sudah bertengger di ubun-ubunnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya melebihi guyuran hujan. Dan ia kini kelu, tak memiliki sepatah jawaban apapun di bawah acungan pedangnya sendiri.

“Siapakah kini yang akan melindungi engkau dariku, hai Du’tsur?”
“Tidak ada seorangpun, wahai Muhammad,” jawab Du’tsur dalam gemetar yang sangat. Ia kemudian berucap, “Ayshadu an Laa ilaaha illa Allah, wa annaka Rasulullah. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan sesungguhnya engkau adalah utusan-Nya.”

Nabi SAW pun menurunkan acung pedangnya. Tangan yang mulia itu kemudian mengangsurkan senjata itu kepada tuannya. Laki-laki itu, Du’tsur bin al-Harts al-Ghatafany, menerimanya dengan rasa suka-cita di antara ketakpercayaannya. Ia lalu kembali kepada anggota pasukannya yang sedang berada di atas gunung, memberitahukan apa yang sudah terjadi, dan menyeru mereka untuk mengikut seruan Nabi kepada ajaran yang benar. Perang pun urung. Mereka lebih memilih perniagaan yang tak akan pernah merugi. (NapakTilas)

Posted by Azhar Muhammad N.T :: 9:43 AM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------
Saat Saya Jadi Maling

“Kalo mau, antum di sini juga ngga papa sama saya” Begitu kira-kira kata-kata yang diucapkan Devi, adik kelas angkatan 2003 yang sejak lulus dari Assalaam langsung ngabdi di pondok ini. Dia nawarin saya untuk tinggal di kamarnya, mengingat waktu itu saya belum nggenah mau tinggal di mana.

Karena ada yang terang-terangan siap menerima saya, ya akhirnya saya terima tawarannya. Awalnya saya mau pindahan hari Kamis malam, tapi batal karena ada acara pelantikan pengurus OPPPMIA 2007 – 2008 yang memakan waktu cukup lama. Jadilah saya boyongan dari tempat nginep sementara saya ke perumahan tipe D nomor 2 hari Jum’at pagi setelah sholat Shubuh. Lumayan juga, masing-masing punya 2 lemari kayu, ada kipas angin, setrika, dispenser air, tape, dan tidak ketinggalan komputer, jadi saya masih bisa menyalurkan hobi mendengarkan musik.

Model perumahan ini hampir mirip dengan asrama Kagatra/i, sama-sama tidak ada kamar mandi dalam kamar. Bedanya, bila Kagatra/i dua sisinya merupakan kamar, yang mana di belakang satu kamar adalah kamar juga, tapi kalau perumahan tempat saya tinggal tidak kaya’ gitu. Di belakang kamar saya tidak ada kamar lagi alias lowong, makanya kalau Kagatra/i hanya bagian depan yang berjendela, maka kalau kamar saya berjendela depan dan belakang. Di belakang perumahan saya ada 4 kamar mandi yang di pakai bersama-sama, ditambah tempat khusus untuk mencuci, dan mejemur pakaian. Areal tempat fasilitas mandi, cuci, dan jemur itu diberi pagar pembatas dari sisi belakang perumahan sampai dengan tembok pembatas pondok dengan daerah luar pondok.

Normalnya, untuk menuju ke areal belakang itu saya dan teman-teman keluar kamar dari pintu kamar lalu memutar lewat lorong yang ada di tengah-tengah perumahan, dan sampailah kami di tempat yang dituju. Nah, yang tidak normal adalah saat saya dan kawan-kawan kadangkala pergi ke areal belakang tidak lewat jalan biasa, melainkan dengan lompat dari jendela kamar bagian belakang. Kalo yang saya rasain sih, aksi lompat itu terjadi ketika saya ngerasa sedikit ngga enak kalo keliatan ama santri lagi jalan mau mandi atau ngambil wudlu. Pada saat-saat tertentu saya santai-santai aja ke belakang lewat jalan biasa, tapi adakalanya pada saat yang lain saya terdorong untuk pake’ jalan pintas kaya tadi.

Saat-saat awal menempati kamar ini, aksi lompat jendela ini cuma berlaku untuk pakaian ganti, hanger, atau perlengkapan mandi. Barang-barang itu saya letakkan di kasur yang memang dekat dengan jendela, lalu saya ambil dari luar. Tapi beberapa hari kemudian, giliran saya yang melakukan aksi lompat jendela layaknya maling itu, entah sampai kapan. Semoga gak jadi maling beneran, aminnn.....

Posted by Azhar Muhammad N.T :: 9:41 AM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------

Friday, August 24, 2007

Bukan Perempuan Biasa

Tidak ingin mengecewakan nenek, akhirnya saya menuruti kemauan beliau agar kami berdua turun di Palur saja, bukan di terminal Tirtonadi seperti yang direncanakan semula. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari, untunglah waktu itu ada angkutan umum yang tengah berhenti menunggu penumpang, sebuah mobil pick-up dengan atap yang menaungi bak terbuka di bagian belakang, kursinya berhadap-hadapan. Nenek duduk di depan di samping supir, saya di belakang sambil menunggui barang bawaan kami. Dan kami pun melanjutkan perjalanan ke Karangpandan, salah satu kecamatan di wilayah kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.

Mobil itu awalnya memang kosong, namun di tengah jalan penumpangnya perlahan-lahan bertambah, dan pemandangan itu pun muncul di hadapan saya. Pemandangan yang sebenarnya bukan sekali itu saya temui. Dulu ketika pulang ke Bondowoso di pagi buta, saya naik bis umum dari Jember, dan saya pun mendapati pemandangan seperti ini. Sekawanan ibu-ibu yang berangkat ke pasar dengan seabreg barang dagangannya. Diantaranya bahkan ada yang sudah nenek-nenek.

Mereka ini memang perempuan, namun itu tidak menghalangi niat mereka untuk berjuang menghidupi diri dan keluarganya. Bahkan jika dipikir-pikir, perjuangan mereka mungkin bisa dibilang lebih keras dari apa yang bisa saya kerjakan sejauh ini. Belum tentu saya mampu mempersiapkan diri saya pagi-pagi seperti mereka. Habis sholat shubuh malah kadang-kadang saya tidur lagi. Dalam masalah menikmati waktu berjuang seperti ini, saya pun harus belajar banyak dari perempuan-perempuan ini.

**********

Makanan untuk sarapan disiapkan dini hari, makanan untuk makan siang disiapkan pagi-pagi, dan waktu siang dipakai untuk mempersiapkan makan malam. Seperti inilah yang saya lihat dari ibu-ibu dan mbak-mbak yang bekerja di bagian dapur pondok ini. Di balik sifat lembut yang sudah menjadi karakter khasnya, mereka juga rela berpeluh-peluh dan terkuras tenaganya untuk melayani ribuan orang (tidak hanya santri, mantan santri kaya saya juga) di lingkungan pondok ini. Di antara mereka malah ada yang bekerja di situ sejak saya masih belajar di sini. Seperti halnya ibu-ibu pedagang di atas, perempuan-perempuan ini juga luar biasa. Kalo saya sih belum tentu bisa setelaten mereka.

*********

Ada yang bilang, jilbaber itu makhluk manis yang paling-paling tidak akan mau mengerjakan pekerjaan yang agak kasar sedikit seperti yang biasanya dilakukan gadi-gadis non-jilbaber. Tapi ternyata di daerah pinggiran sana, ada yang beberapa jilbaber yang tiap pagi menjajakan tempe dengan mancal sepeda. Ada juga yang berjualan susu, tahu, sayur, dan sebagainya dengan memakai sepeda. Malah di tempat lain ada yang dengan jilbab panjangnya terjun ke sawah untuk membantu mengolah sawah, tidak hanya di musim panen yang memang medannya agak ringan, tetapi juga di musim tanam ketika sawah yang kering berubah menjadi kubangan air. Kaos kaki tetap mereka pakai walaupun dibungkus plastik kresek.

Ada lagi yang setia dengan pekerjaannya, membantu orang tuanya mengangkat genteng-genteng yang sudah selesai dibakar sampai memerah, mengaduk-aduk isi tungku pembakaran sambil sesekali terbatuk-batuk kecil; memakai jilbab yang sudah mulai pudar warnanya. Sementara ayahnya –pak penjual genteng- yang sudah mulai tua terduduk dengan peluh bercucuran, kelelahan. Demi kuliah anaknya juga.

**********

Perempuan-perempuan ini, semoga rahmat-Nya tercurahkan ke atas mereka, semoga hidayah-Nya menaungi mereka, semoga taufiq-Nya senantiasa menghiasi hidup mereka, semoga ridlo-Nya menyertai pekerjaan mereka.


Posted by Azhar Muhammad N.T :: 8:09 AM :: 0 Comments:

Post a Comment

---------------------------------------