Mungkin bermaksud untuk berbeda dengan orang lain, pak tua ini punya keinginan untuk ditemani oleh salah satu istrinya ke alam baka. Ia menanyakan kesediaan para istrinya, untuk menemaninya menghadap Tuhan.
Ia memulai keinginannya, dengan bertanya kepada istri keempat. "Wahai istriku yang cantik. Aku sudah tua. Sebentar lagi malaikat maut akan menjemputku. Aku ingin sekali ditemani ketika menghadap Tuhanku. Maukah kau ikut bersamaku?"
Dengan nada berang, si istri keempat, yang paling muda, paling cantik, paling banyak menghabiskan waktu dan energi pak tua di luar dan di dalam rumah, sekaligus juga paling banyak menghabiskan uang, mengatakan :
”Kalau bapak ingin pergi ke luar negeri, saya pasti ikut. Kalau bapak ingin ke pesta, saya pasti ikut. Tapi maaf saja. Kalau ke alam kematian, nanti dulu ah. Mati kok ngajak-ngajak! Pergi aja sendiri!”
Dengan hati bagai diiris sembilu, pak tua kemudian bertanya lagi pada istri yang ketiga. Ia bertanya dengan pertanyaan yang sama.
”Istriku yang ketiga. Sebentar lagi, malaikat maut akan menjemputku. Bersediakah kau untuk ikut bersamaku?”
Dengan suara yang lebih lembut, istri ketiga pak tua menjawab :
”Maafkan saya, pak. Saya hanya akan menemani bapak di sini saja. Begitu ajal menjemput bapak, sampai di situ lah tugas saya menemani bapak.”
Dengan hati yang semakin hancur, pak tua menoleh ke arah istri kedua.
”Bagaimana istriku yang kedua. Maukah kau menemaniku ke alam baka?”
Inilah kata-kata yang keluar dari mulut istri keduanya :
”Maafkan saya, suamiku tercinta. Aku akan menemanimu di sini, sampai ajal menjemput. Dan jika kau sudah meninggal, menjadi tugasku pula untuk mengantar jenazahmu ke tempat pemakaman. Setelah itu, selesai tugasku sebagai istri, dan aku akan melanjutkan kehidupanku sendiri.”
Tidak ada pilihan lain. Pak tua pun memalingkan wajahnya ke arah istri pertama. Tampak lah wajah yang sangat tua, penuh keriput dan sudah pudar kecantikannya. Inilah istri yang paling lama merasakan kesusahan bersamanya. Paling sedikit dapat nafkah lahir dan bathin. Paling sedikit dapat jatah uang tetapi paling sering jadi sasaran kemarahan.
”Bagaimana istri pertamaku? Ketiga istriku yang lain tidak bersedia menemaniku menghadap Tuhan. Alangkah hancurnya hatiku, jika kau pun tidak bersedia menemaniku. Rasanya, tidak berguna segala yang sudah kulakukan selama ini.”
Berbeda dengan tiga istri sebelumnya, istri pertama menjawab dengan santun dan lemah lembut.
”Kakanda. Apapun perlakuanmu padaku di hari-hari yang telah lalu, aku akan ikut bersamamu, kemana pun kau pergi.”
Melihat kenyataan ini, pak tua kemudian berkata, "Kalau saja kutahu sejak dulu bahwa engkau lah yang akan setia menemaniku ke mana pun aku pergi, engkau lah yang paling aku perhatikan. Engkau lah yang paling kuutamakan perawatannya, melebihi ketiga istriku yang lain. Kalau saja Tuhan mengizinkanku kembali ke masa muda, takkan kubiarkan engkau jadi tampak tua dan keriput seperti ini!"
Pembaca. Cerita di atas, bukanlah cerita sebenarnya. Cerita itu hanyalah cerita rekaan, yang saya tidak tahu asal-usulnya. Berbeda dengan hadits yang perlu ditelusuri sanadnya, saya merasa tidak perlu menelusuri siapa penulis pertamanya. Yang perlu saya lakukan adalah berdo’a untuk kebaikannya, karena saya memperoleh begitu banyak hikmah dari cerita ini. Cerita ini memiliki hikmah yang sangat dalam, terutama bagi saya dan mudah-mudahan juga bagi anda, yang ingin meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Setiap kita, punya 4 istri kehidupan.
Apa yang dalam cerita di atas disebut sebagai istri keempat, dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai harta dan tahta. Banyak manusia menghabiskan hampir seluruh waktu, tenaga dan pikirannya sepanjang hidup, untuk mendapatkan apa yang kita sebut sebagai harta dan tahta. Bahkan sebagian dari mereka, rela mengorbankan harga diri, kehormatan dan bahkan akidah, untuk mendapatkan harta yang banyak dan atau pangkat yang tinggi. Korupsi, menipu diri atau orang lain dan fenomena 'jilat atasan injak bawahan' adalah sedikit dari perilaku manusia pencari harta dan tahta. Sayangnya, di akhir kematian, harta dan tahta tidak akan dibawa mati. ketika anda hidup, anda boleh punya harta dan perhiasan berlimpah, rumah indah atau mobil mewah. Tapi di dalam kehidupan, belum pernah terjadi, ada mobil BMW ikut dikubur bersama pemiliknya. Belum pernah terjadi juga, sebuah apartemen dibongkar dan kemudian reruntuhannya ditanam bersama jasad pemiliknya. Bahkan pangkat dan jabatan seringkali sudah pergi ketika seseorang belum meninggal. Banyak pejabat yang kehilangan jabatan karena sakit yang terlalu lama.
Istri ketiga dalam cerita di atas adalah badan atau jasad kita. Badan kasar ini, juga banyak makan biaya. Harta hasil jerih payah, banyak digunakan untuk kepentingan badan kasar kita. Entah itu untuk konsumsi, membeli pakaian, kosmetik atau bahkan operasi plastik. Dan ketika seseorang meninggal, maka tugas jasad kasar yang dibiayai dengan harta yang banyak itu pun selesai. Tubuh yang diberi konsumsi makanan yang enak-enak, diberi pakaian indah, dilumuri kosmetik atau bahkan diubah bentuk supaya lebih menarik, sepertinya tidak ada gunanya karena cepat atau lambat harus jadi santapan cacing dan menyatu dengan tanah.
Istri kedua adalah orang-orang terdekat kita. Bisa suami, istri, anak, orang tua maupun sanak saudara. Manusia pun menghabiskan begitu banyak waktu, tenaga dan pikiran untuk orang-orang terdekat mereka. Sayangnya, ketika seseorang harus meninggal, orrang-orang terdekat itu hanya mengantarnya sampai ke liang kubur. Seringkali terjadi, seseorang yang kaya-raya masih sakit keras dan belum meninggal, para ahli warisnya sudah ribut memperebutkan harta warisan. Teman-teman yang ketika ia masih hidup begitu akrab dan sayang, bisa jadi adalah orang-orang yang paling keras menginjak-injak tanah kuburannya. Usai dari pemakaman, mereka pun kembali mengurus kehidupan masing-masing.
Istri pertama, sekaligus istri paling setia (baik dalam cerita tadi maupun secara umum di dunia nyata), adalah jiwa kita. Jujur saja, kita menghabiskan waktu paling sedikit untuk mengurus jiwa kita. Dalam kehidupan, sadar atau tidak, kita lebih sering menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan energi kita untuk mencari tahta dan harta, menghabiskan harta untuk mengurus jasad kasar maupun memberikan kesenangan bagi orang-orang terdekat kita. Padahal, jiwalah yang selalu bersedia menemani kita dalam suka dan duka.
Pantaslah ketika pak tua sampai pada akhir usianya, ia menemukan sang jiwa dalam keadaan kurus, tampak tua dan penuh keriput. Boleh jadi, karena sepanjang hidupnya, ia hanya menyisakan sedikit perhatian untuk memberi makanan bagi sang jiwa. Badan ia berikan makanan berupa empat sehat lima sempurna. Badan dirawat dengan mandi spa dan operasi plastik.
JIwa kita, pada dasarnya juga membutuhkan makanan. Berbeda dengan jasad kasar, jiwa membutuhkan makanan yang menyehatkan dalam bentuk amal-amal kebajikan. Orang-orang yang hidup dengan amal kebajikan, adalah orang-orang yang selalu ditemani istri pertama yang sehat, muda, cantik dan bebas keriput.
Pembaca. Ada dua tipe istri pertama dalam kehidupan setiap orang. Istri pertama yang sehat, muda, cantik dan bebas keriput dan istri pertama yang tampak tua, kurus dan penuh keriput. Istri kehidupan macam apa yang anda inginkan? (warnaislam.com)
Lembah Hunain kembali menjadi saksi bahwa jumlah yang besar seringkali tak lebih dari sekawanan keledai yang kurang gizi. Pagi itu, pasukan gabungan dari Bani Tsaqif, Hawazin, Jusyam, Bakar, dan Hilal semburat lari seperti debu tertiup badai padang pasir siang hari. Sorak-sorai kesombongan 20 ribu anggota pasukan mereka lenyap dalam beberapa jam setelah berhasil dibungkam oleh pasukan muslimin yang hanya 12 ribu orang.
Kini dunia yang menyilaukan tampak di depan mata kaum muslimin: ghanimah yang besar, serupa manna dan salwa yang diturunkan dari langit untuk Bani Israil. Tak kurang 24 ribu ekor unta, 40 ribu ekor kambing, 4 ribu uqiyah perak berhasil dirampas. Juga tawanan 6 ribu personel, laki-laki dan perempuan. Mereka kemudian dikumpulkan di lembah Ji’ranah.
Inilah yang kemudian dilakukan Nabi. Beliau memberi bagian Abu Sufyan bin Harb, dedengkot Quraisy itu, 100 ekor unta dan 40 uqiyah perak. Kedua anaknya, Yazid dan Mu’awiyah diberikan bagian yang sama dengan ayahnya. Nabi juga memberikan 100 ekor unta kepada beberapa orang Quraisy termasuk Hakim bin Hizam, Nushair bin Harits, Harits bin Hizam, dan Shafwan bin Umayyah. Sebagian lainnya diberi bagian kurang dari 100 ekor unta. Di luar itu, setiap anggota pasukan berjalan kaki mendapat 4 ekor unta dan 40 ekor kambing dan anggota pasukan berkuda mendapat 12 ekor unta dan 120 ekor kambing. Terlihatlah bahwa orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam setelah fathul Ma’kah mendapatkan bagian yang lebih banyak, bahkan istimewa, dibanding mereka yang telah lama masuk Islam
“Ya Muhammad!” kata seorang dekil yang tiba-tiba datang kepada Nabi. “Takutlah olehmu kepada Allah! Aku telah melihat apa yang telah engkau perbuat hari ini!”
Nabi bertanya, “Baik! Bagaimana yang kamu lihat, wahai Kisanak?”Orang itu menjawab, “Aku tidak melihat keadilan engkau!”
Wajah lelaki agung itu memerah. Beliau bersabda, “Apabila keadilan tidak ada padaku, lantas pada siapa adanya?”
“Ya Rasulullah!” Umar bin Khattab yang melihat peristiwa itu seketika menyela. “Tidakkah aku lebih baik membunuh orang ini?”
*****
Rupanya ada yang tertinggal dalam pembagian ghanimah itu. Kaum Anshar. Tak seorang pun mendapatkan bagian istimewa sebagaimana orang Quraisy yang baru masuk Islam. Bisik-bisik muncul diantara mereka. Agak sinis, bahkan, dan menjalar seperti api dalam setumpukan jerami yang kering. “Sekarang, Rasulullah telah berjumpa dengan kaumnya.”
Sa’ad bin Ubadah tak kuat mendengar ungkapan perasaan kurang baik terhadap Nabi itu. Maka ia pun menyampaikannya kepada Nabi SAW. “Engkau telah membagikan kepada kaum engkau sendiri dan kabilah Arab lainnya dengan pembagian yang banyak. Sedangkan golongan Anshar tidak mendapatkan bagian sedikitpun.”
Wajah Nabi kembali memerah. “Kumpulkanlah kaummu kepadaku, wahai Sa’ad, di tempat perkemahan ini!”
Sa’ad lalu segera mengumpulkan orang-orang Anshar di tempat itu.
“Barangsiapa ada di sini selain Anshar, hendaklah ia kembali ke tempatnya!” kata Nabi membuka percakapan. Sejenak kemudian beliau bertanya, “Wahai kaum Anshar! Apakah desas-desus yang telah sampai kepadaku adalah perasaan yang kalian rasakan terhadapku?”
“Ya Rasulullah,” jawab seorang diantara mereka. “Para ketua kami tidaklah mengatakan apa-apa. Orang-orang muda kamilah yang telah berkata ‘Mudah-mudahan Allah memberi ampunan kepada Rasul-Nya, karena telah memberi bagian kepada kaum Quraisy dan tidak kepada kami. Padahal, pedang-pedang kamilah yang meneteskan darah-darah mereka.’”
Rasulullah lalu bersabda, “Wahai orang-orang Anshar! Bukankah ketika aku datang, kalian masih dalam kesesatan, kemudian Allah memberikan hidayah kepada kalian karena aku? Bukankah ketika itu kalian masih menderita, kemudian Allah mencukupi kalian karena aku? Bukankah kalian ketika itu masih saling bermusuhan, kemudian Allah mempersatukan hati kalian karena aku?”
Wajah-wajah itu pun menunduk. Tatapan mereka jatuh ke tanah. Kemudian seorang menjawab, “Benar, ya Rasulullah! Allah dan Rasul-Nya amat murah dan mengaruniai. Karena itu, kami telah dengan rela dan tulus kepada Allah sebagai rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi. Berbuatlah apa yang menjadi kehendak engkau, ya Rasulullah, karena engkaulah dalam kehalalan!”
*****
Sikap reaktif adalah sikap seseorang yang gagal membuat pilihan respon pada saat mendapatkan rangsangan (stimulus). Jika Anda selalu marah kalau dicemooh, maka Anda termasuk reaktif, karena selalu memberikan respon yang sama terhadap suatu rangsangan. Binatang secara umum adalah makhluk yang reaktif. Kalau dipukul, reaksinya hanya dua: takut atau marah. Coba saja Anda pukul seekor anjing yang melintas. Kalau ia tidak lari, maka Andalah yang akan lari.
Berbeda dengan reaktif, menurut Covey, proaktif adalah kemampuan seseorang untuk memilih respon. Sikap proaktif adalah sikap seseorang yang mampu membuat pilihan dikala mendapatkan rangsangan. Seseorang yang bersikap proaktif mampu memberi jeda antara datangnya rangsangan dengan keputusan untuk memberi respon. Pada saat jeda tersebut seseorang yang proaktif dapat membuat pilihan dan mengambil respon yang dipandang terbaik bagi dirinya.
Bila dibandingkan dengan binatang yang senantiasa reaktif, manusia bisa bersikap proaktif. Saat dipukul, manusia reaksinya bisa lebih beragam. Ia memang bisa marah. Tetapi, boleh jadi ia akan diam atau justru tersenyum (jika dipukul mesra pasangan misalnya). Manusia punya kendali untuk memilih respon terhadap rangsangan tertentu.
Sikap proaktif sangat berguna bagi manusia terutama dalam menghadapi masalah maupun dalam berinteraksi dengan manusia lain. Sikap proaktif menunjukkan tingkat kecerdasan emosi (EQ) yang tinggi. Permasalahannya adalah tidak banyak orang bisa memilih respon terbaik terhadap sebuah masalah. Apalagi jika itu berhubungan dengan dunia dan keduniaan. Bagaimanapun cinta dunia adalah penyakit yang diderita hampir setiap orang.
Ketika orang Quraisy, apalagi yang baru masuk Islam, mendapatkan bagian ghanimah Hunain yang lebih besar dari mereka, kaum Anshar langsung bereaksi. Mereka merasa lebih berhak mendapatkan bagian yang lebih besar ketimbang para muallaf itu — apalagi beberapa diantaranya sangat memusuhi Islam di masa awal seperti Abu Sufyan bin Harb. Namun, bagaimanapun, ini adalah reaksi yang wajar.
Rasulullah tak membiarkan sikap reaktif yang salah ini terus berlangsung. Dan rupanya, orang-orang Anshar yang dididik langsung di bawah tarbiyah Rasulullah SAW telah memilih pilihan yang lebih baik ketimbang ghanimah. Mereka telah memilih sikap proaktif jauh sebelum Covey 14 abad kemudian menulis bukunya.
*****
Wajah-wajah di perkemahan itu masih tertunduk dalam diam. Lembah Ji’ranah serupa sedang diguyur musim dingin yang beku.
“Sesungguhnya, aku memberi bagian kepada beberapa orang yang baru saja memeluk Islam karena aku sengaja menjinakkan mereka di dalam Islam,” kata laki-laki agung itu memecah kesunyian. Kata-katanya kini bergetar penuh luapan kasih. “Apakah kalian tidak puas melihat orang lain pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? Demi Zat yang diri Muhammad ada di tangan-Nya. Sekiranya bukan karena hijrah, tentu aku adalah salah seorang dari kaum Anshar. Sekiranya orang lain berjalan di suatu lembah dan lereng gunung, sedangkan kaum Anshar berjalan di lembah dan lereng gunung yang lain, niscaya aku menempuh jalan di lembah dan lereng gunung yang ditempuh kaum Anshar. Kalian itu bagaikan baju dalam, dan orang-orang yang lain itu bagaikan baju luar.”
Nabi kemudian mengangkat tangan mengucap do’a, “Ya Allah! Limpahkanlah rahmat-Mu kepada kaum Anshar, kepada anak-anak kaum Anshar, dan kepada cucu-cucu kaum Anshar!” Seketika itu pula, mata yang telah basah kini tak terbendung lagi. Air mata berhamburan membasahi pipi, berlelehan hingga janggut-janggut mereka. Mereka lalu berseru haru, “Kami telah rela mendapatkan Rasulullah sebagai bagian kami!" (NapakTilas)
Kabut pasir, hujan batu kerikil, juga caci-maki. Anak-anak, hamba sahaya, juga tetangga keluarga Amr bin Umair bin Auf ats-Tsaqafi berhamburan keluar rumah. Berbaris, berjajar di sepanjang jalan dari rumah penguasa kota Thaif itu. Batu kerikil di tangan. Pasir berguguran dalam genggaman. Mulut-mulut berteriak penuh cacian. Mereka seperti berlomba melempar.
Dua orang lelaki tak berdaya tertatih di bawah hujan batu, kerikil, dan pasir serupa terseret di dalam badai gurun sahara yang terik. Mereka mengarahkan batu-batu itu ke kaki Nabi SAW. Kedua kakinya luka menganga, berdarah-darah. Manusia yang mulia itu bahkan sampai harus berjalan merangkak-rangkak menahan sakit. Zaid bin Haritsah yang menyertainya pun tak luput dari sasaran. Kepalanya luka parah berkucur darah terkena lemparan batu. Sementara kerikil, batu, dan pasir tak henti beterbangan dari tangan-tangan keluarga Bani Tsaqif itu.
Caci-maki dan ejekan terus berlangsung hingga kedua lelaki itu sampai di sebuah kebun di luar kota. Mereka pun bubar. Nabi SAW dan Zaid lalu berteduh di tempat itu. Menunggu luka terhenti dan mengering, barang sesaat. Demi mengetahui kalau kebun itu milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah yang juga memusuhi beliau di Mekah, Rasul pun mengadu.
“Ya Allah, kepada Engkaulah aku mengadukan kelemahan kekuatanku dan sedikitnya daya upayaku dan kehinaan bagi manusia. Ya Tuhan Yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang berkasih sayang”
***
Abu Thalib baru saja wafat. Hanya berselang hari, Khadijah yang amat dicintainya pun pergi untuk selamanya dari sisinya. Lelaki itu telah kehilangan dua orang yang amat dikasihinya dalam waktu yang hampir bersamaan, serupa kehilangan kaki untuk melangkah sekaligus punggung buat bersandar. Ia memang seorang Nabi. Tetapi ia pun seorang manusia biasa. Kehilangan dua orang yang amat dikasihinya dan selama ini menjadi tulang-punggung dakwahnya tentu merupakan pukulan yang berat. Tidak ada dukacita yang lebih besar beliau rasakan sejak bertemu Jibril di Gua Hira kecuali saat itu.
Tekanan Quraisy pun menjadi. Cercaan, hinaan, dan perlakuan menyakitkan dari mereka siang malam terus diterimanya tanpa henti. Nabi lalu pergi secara diam-diam ke Bani Tsaqif di Thaif untuk mengobati dukanya ini. Semula beliau membawa harapan yang besar, mengingat pemuka mereka masih keluarga dekatnya. Tetapi apa yang kemudian dialaminya bersama Zaid sungguh jauh panggang dari api. Alih-alih mengharap pelita segera terpetik di daerah sebelah tenggara Mekah yang subur itu, justru yang beliau terima adalah hujan batu dan sumpah-serapah.
***
Ketika keduanya selesai beristirahat di kebun itu dan kemudian meneruskan perjalanan kembali ke Mekah, datanglah malaikat Jibril diiringi malaikat penjaga gunung.
“Ya Rasulullah” kata Jibril. “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu dan penolakan mereka kepadamu. Dia telah mengutus malaikat penjaga gunung supaya engkau perintahkan kepadanya apa yang engkau kehendaki atas kaum Bani Tsaqif itu.”
“Ya Rasulullah” sahut malaikat penjaga gunung. “Jika engkau mau supaya aku melipatkan kedua gunung yang besar ini di atas mereka, niscaya akan aku lakukan.”
Gunung Abu Qubais dan Qa’aiqa’an tampak kokoh berhadapan di kejauhan bak dua raksasa yang berdiri diantara Mekah dan Thaif. Melemparkan keduanya ke atas perkampungan Bani Tsaqif akan serupa hujan batu atas kaum Sadum ketika mendustakan Nabi Luth as.
“Tidak Jibril!” jawab Nabi tegas. “Bahkan aku berharap mudah-mudahan Allah memberikan kepada mereka keturunan yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”
***
Serupa apakah cinta sejati itu? Mungkin cinta jika cuma terkatakan hanyalah berarti setengah cinta atau cinta setengah. Kalau tidak malah jadi cinta setengah-setengah. Sebagian besar cinta boleh jadi justru mengejawantah pada selain indahnya kata. Pada senyum yang tulus, mata yang teduh, tangan yang terulur, bahu yang memikul, kaki yang bergerak ringan, hingga dekap erat-hangat.
Cinta juga terlihat pada kesediaan berbagi, menjalani, dan berkorban apa saja demi sesuatu atau seseorang yang dicinta. Dan barangkali cinta mencapai puncaknya ketika seseorang mau bertaruh nyawa untuk sang kekasih, berkorban hingga tetes darah terakhir demi yang dicinta.
Bagaimana halnya jika seseorang merelakan dirinya terluka oleh yang dicinta dan tak pernah mau memendam dendam untuk suatu saat menuntut balas jika berkesempatan? Boleh jadi inilah cinta sejati. Itulah cinta yang nyaris tak bertepi.
Rasulullah SAW adalah sosok pribadi dengan cinta yang nyaris tak bertepi itu. Batu kerikil yang beterbangan menyayat luka di kulit, darah yang mengalir diiringi sakit, juga cacian, hinaan, ejekan, dan sumpah-serapah yang diterimanya pada peristiwa di Thaif rasanya sudah lebih dari cukup untuk tidak pernah dimaafkan. Kalau perlu dituntut balas dengan sepadan perih.
Ia memang manusia biasa. Tetapi bagaimanapun, ia bukanlah manusia biasa seperti kita. Kecintaan pada yang dicintanya sungguh tiada berbatas. Dan yang amat dicintanya itu tidak lain adalah kaum kepada siapa beliau diutus, termasuk kita. Cinta itu ditunjukkannya nyaris pada sepanjang hayat. Bahkan ketika saat-saat terakhir menjelang beliau pergi, bagian dari yang disebut bibirnya yang mulia adalah ummati, ummati. Umatku, umatku. Sungguh cinta kepada umatnya dibawanya hingga tarikan nafas terakhir.
Begitu pulalah yang terjadi di jalan antara Thaif dan Mekah itu. Ketika kedua malaikat menawarkan diri melempar kaum Tsaqif dengan dua gunung sebagai bentuk balasan atas penghinaan itu, Rasulullah hanya menggeleng. Meski kaumnya memusuhinya begitu rupa, cintanya kepada mereka sudah terlanjur tak bertepi.
***
“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan supaya aku menuruti keinginanmu terhadap kaummu Ya Rasulullah, karena perbuatan mereka kepadamu.” sambung Jibril demi mendengar jawaban Nabi, “
Lemparan batu, kerikil dan pasir masih membekas di tubuhnya yang mulia. Peristiwa penghinaan itu masih sangat segar di ingatan. Bahkan luka di kedua kaki beliau belum juga mengering. Tetapi beliau justru memanjat doa.
“Ya Allah, tunjukkanlah (jalan yang lurus) kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengerti.”
Jibril dan malaikat penjaga gunung kemudian sama-sama berkata, “Maha benar Tuhan yang telah menamakan dirimu pengasih serta penyayang” (NapakTilas)
Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku.
Jika cinta memelukmu, maka dekaplah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu (Kahlil Gibran)
Tidak ingin mengecewakan nenek, akhirnya saya menuruti kemauan beliau agar kami berdua turun di Palur saja, bukan di terminal Tirtonadi seperti yang direncanakan semula. Jam menunjukkan pukul 3 dini hari, untunglah waktu itu ada angkutan umum yang tengah berhenti menunggu penumpang, sebuah mobil pick-up dengan atap yang menaungi bak terbuka di bagian belakang, kursinya berhadap-hadapan. Nenek duduk di depan di samping supir, saya di belakang sambil menunggui barang bawaan kami. Dan kami pun melanjutkan perjalanan ke Karangpandan, salah satu kecamatan di wilayah kabupaten Karanganyar Jawa Tengah.
Mobil itu awalnya memang kosong, namun di tengah jalan penumpangnya perlahan-lahan bertambah, dan pemandangan itu pun muncul di hadapan saya. Pemandangan yang sebenarnya bukan sekali itu saya temui. Dulu ketika pulang ke Bondowoso di pagi buta, saya naik bis umum dari Jember, dan saya pun mendapati pemandangan seperti ini. Sekawanan ibu-ibu yang berangkat ke pasar dengan seabreg barang dagangannya. Diantaranya bahkan ada yang sudah nenek-nenek.
Mereka ini memang perempuan, namun itu tidak menghalangi niat mereka untuk berjuang menghidupi diri dan keluarganya. Bahkan jika dipikir-pikir, perjuangan mereka mungkin bisa dibilang lebih keras dari apa yang bisa saya kerjakan sejauh ini. Belum tentu saya mampu mempersiapkan diri saya pagi-pagi seperti mereka. Habis sholat shubuh malah kadang-kadang saya tidur lagi. Dalam masalah menikmati waktu berjuang seperti ini, saya pun harus belajar banyak dari perempuan-perempuan ini.
**********
Makanan untuk sarapan disiapkan dini hari, makanan untuk makan siang disiapkan pagi-pagi, dan waktu siang dipakai untuk mempersiapkan makan malam. Seperti inilah yang saya lihat dari ibu-ibu dan mbak-mbak yang bekerja di bagian dapur pondok ini. Di balik sifat lembut yang sudah menjadi karakter khasnya, mereka juga rela berpeluh-peluh dan terkuras tenaganya untuk melayani ribuan orang (tidak hanya santri, mantan santri kaya saya juga) di lingkungan pondok ini. Di antara mereka malah ada yang bekerja di situ sejak saya masih belajar di sini. Seperti halnya ibu-ibu pedagang di atas, perempuan-perempuan ini juga luar biasa. Kalo saya sih belum tentu bisa setelaten mereka.
*********
Ada yang bilang, jilbaber itu makhluk manis yang paling-paling tidak akan mau mengerjakan pekerjaan yang agak kasar sedikit seperti yang biasanya dilakukan gadi-gadis non-jilbaber. Tapi ternyata di daerah pinggiran sana, ada yang beberapa jilbaber yang tiap pagi menjajakan tempe dengan mancal sepeda. Ada juga yang berjualan susu, tahu, sayur, dan sebagainya dengan memakai sepeda. Malah di tempat lain ada yang dengan jilbab panjangnya terjun ke sawah untuk membantu mengolah sawah, tidak hanya di musim panen yang memang medannya agak ringan, tetapi juga di musim tanam ketika sawah yang kering berubah menjadi kubangan air. Kaos kaki tetap mereka pakai walaupun dibungkus plastik kresek.
Ada lagi yang setia dengan pekerjaannya, membantu orang tuanya mengangkat genteng-genteng yang sudah selesai dibakar sampai memerah, mengaduk-aduk isi tungku pembakaran sambil sesekali terbatuk-batuk kecil; memakai jilbab yang sudah mulai pudar warnanya. Sementara ayahnya –pak penjual genteng- yang sudah mulai tua terduduk dengan peluh bercucuran, kelelahan. Demi kuliah anaknya juga.
**********
Perempuan-perempuan ini, semoga rahmat-Nya tercurahkan ke atas mereka, semoga hidayah-Nya menaungi mereka, semoga taufiq-Nya senantiasa menghiasi hidup mereka, semoga ridlo-Nya menyertai pekerjaan mereka.